8. Delapan

64 10 0
                                    

"Apaan nih? Ada yang gue lewatin? Ada yang lo nggak ceritain selama kita nggak ketemu beberapa minggu ini?" Sakti menghampiri Liam setelah pria itu bicara pada manager club malam yang bertugas malam itu. Sakti tidak tahu persis apa yang Liam bicarakan, tapi entah mengapa Sakti bisa menerka apa yang dilakukan pria itu.

"Huh?"

"Masih bisa hah, huh ke gue? Nggak ada niatan buat jelasin ke gue gitu?"

"Jelasin soal apa?" Timpal Liam lebih panjang akhirnya, meski terkesan acuh tak acuh.

Liam akhirnya memilih untuk keluar dari tempat itu, sebab rasanya bertahan di sana juga tidak membuat perasaannya lebih baik. Mood-nya untuk menghilangkan kegundahannya sudah hilang, ya karena kegundahannya mengenai penyakitnya juga sudah hilang sih, tapi berganti dengan masuknya pikiran-pikiran yang lain.

"Soal apa? Masih bisa lo tanya soal apa? Ya soal Gwen lah! Sejak kapan lo kenal dia?"

Liam rasanya ingin sekali memutar bola matanya malas.

"Gue nggak kenal dia. Gue cuma tahu, lo sendiri yang waktu itu ceritain Gwen ke gue, kan? Di cafe waktu itu, jangan sok lupa."

"Y-ya tapi nggak masuk akal aja kalau cuma karena itu lo jadi bertindak sejauh ini. Gue tebak, lo tadi jadiin diri lo yang bertanggung jawab atas kerugian yang Gwen bikin, kan? Makanya lo ngomong sama manager tempat ini."

Liam menarik napasnya panjang, menghentikan langkahnya dan menghadap Sakti yang otomatis juga berhenti mengejar langkah Liam.

"Gue cuma minta supaya mereka nggak pecat Gwen, karena memang bukan sepenuhnya dia yang salah."

"Lo bela dia karena kelakuan Camila? Karena merasa bertanggungjawab Camila kayak gitu ke Gwen? Tapi kan lo nggak suka sama tuh anak, jadi ngapain--"

"Nggak ada hubungannya sama Camila, soal dia sih gue bodo amat."

Mata Sakti menyipit, memberikan tatapan menyelidik yang jelas langsung Liam hindari.

"Lo kasian sama Gwen? Karena cerita gue waktu itu?" Sambung Sakti, kembali mengekor Liam yang menarik pintu utama club untuk pergi dari tempat itu.

"Nggak?"

"Ya terus?"

Ck, Sakti ini benar-benar cerewet sekali. Kenapa harus menanyakan sesuatu yang Liam sendiri tidak tahu jawabannya sih? Liam merasa yakin kalau dirinya tidak kasihan pada Gwen, sebab kalau perkara nasib jelas akan ada banyak yang lebih menyedihkan dibandingkan Gwen, makanya Liam tidak merasa kasihan. Liam rasa dirinya hanya... hanya...

"Simpati?" Gumam Liam sebagai jawaban, meski yang terlempar justru terdengar seperti pertanyaan pada dirinya sendiri.

"Simpati? Why?" Sakti masih tak mengerti.

Hah, ditanya lagi. Mana Liam tahu. Yang pasti, entah mengapa saat melihat Gwen, bayangan saat Liam melihatnya di rumah sakit selalu melintas di kepalanya berulang kali. Ekspresinya, ucapannya, dan rasa frustrasi gadis itu bisa Liam rasakan dan rela ulang dalam kepalanya hingga saat ini.

Kaki Liam terus melangkah menuju tempat mobilnya di parkir, dalam diam dan hanya langkah kaki mereka saja yang terdengar sayup. Beberapa meter berjarak dari tempat di mana mobilnya berada, Liam mendengar suara dua orang lain yang membuat Liam berisyarat pada Sakti untuk diam. Bahkan untuk tidak mengeluarkan suara yang bisa membuat kedatangan mereka disadari oleh dua orang yang tengah bercakap itu.

"Pasti dipecat, kan? Gue yakin sih gue pasti dipecat, Mas." Suara yang sudah mulai familiar di telinga Liam, dan siapa lagi yang memang ada masalah di tempat itu kalau bukan Gwen.

Pengantin PesananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang