2. Dua

175 43 5
                                    

"G-Gwen..."

Melihat sosok itu dan mendengar suaranya menyebut nama Gwen, rasanya Gwen ingin sekali tertawa sekaligus berteriak marah. Ditambah lagi dengan kehadiran sosok extra yang membuatnya jijik. Sosok wanita yang bergelayut di lengan papanya tanpa merasa malu berani berdiri di hadapan Gwen. Ekspresi wajah wanita itu memang terlihat takut dan memelas, tapi sikap yang ditunjukannya di depan mata Gwen dengan memegang lengan papanya erat-erat jelas sama sekali tidak menunjukan bahwa wanita itu sungguh-sungguh terintimidasi. Itu hanya bagian dari sandiwara wanita itu saja, bagian dari topeng murahan yang digunakan untuk memanipulasi papanya.

Rasa sakit dan kepungan amarah mengukung Gwen begitu pekat hingga kedua tangan di sisi tubuhnya tanpa sadar mengepal begitu erat, buku-buku jarinya memutih dan terasa dingin. Rasanya kebas, Gwen tidak merasakan sakit di sekujur tubuhnya setelah benturan keras tadi, tapi kenapa hatinya terasa begitu perih dan sesak?

"Baru keluar? Baru keluar setelah aku hancurin rumah ini, huh?"

"Gwen..."

"Apa harus aku rubuhin rumah ini juga biar Papa bisa pergi dari sini?!"

"Gwen, jangan di sini. Kita bicara di tempat lain. Ayo ikut Papa."

"Kenapa?" Suara Gwen bergeming, tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. "Papa nggak mau cewek itu lihat apa yang udah dia perbuat sama keluarga kita? Papa nggak mau cewek itu nyaksiin kalau dia udah bikin keluarga kita hancur kayak gini karena harga dirinya yang murah itu?!"

"GWEN! JAGA MULUT KAMU!"

Napas Gwen yang sebelumnya tertahan dibuat keluar bersamaan dengan dengusan geli melihat sikap yang ditunjukan pria yang sejak kecil dia hormati itu.

Sosok itu membentaknya? Membentaknya hanya karena berusaha untuk membela manusia kotor yang sudah menghancurkan keluarga mereka? Bukankah itu lelucon paling menggelikan abad ini?

"Memang kenapa? Kalau aku jaga mulutku lantas pelacur itu jadi malaikat? Jadi manusia paling suci yang nggak kelihatan busuk sedikitpun di mata Papa? Oh, atau dari awal Papa memang udah buta lihat pelacur itu sebagai—"

PLAK!

Gwen jelas tahu apa yang akan dilakukan papanya ketika dia meneruskan kalimatnya. Gwen tahu apa yang akan terjadi bahkan di detik saat pria itu melangkah mendekat ke arahnya. Gwen tahu, tapi dia tetap melakukannya.

Katakan Gwen terlalu naif untuk ini, bahkan di saat keadaan sudah jelas sekalipun Gwen ingin membuktikan siapa yang lebih berharga di antara dirinya dan wanita yang sejak tadi bersembunyi di balik tubuh papanya. Dan ya, Gwen mendapatkan jawabannya. Telak, tanpa perlu memastikannya lagi.

"Papa nampar Gwen karena pelacur itu?"

"Gwen berhenti."

"Papa lebih milih pelacur itu dibanding keluarga kita?"

"Berhenti, dan pergi dari sini Gwen."

"PAPA JELAS LEBIH MENTINGIN PELACUR ITU DIBANDING AMORA YANG SEKARANG ADA DI ICU, ITU KAN MAKSUD PAPA?!"

"PAPA BILANG CUKUP, GWEN!"

"PUAS LO BANGSAT?! PUAS LO UDAH BIKIN BOKAP GUE LEBIH MILIH LO DIBANDING ADEK GUE?!" Gwen berteriak ke arah wanita yang masih berdiri diam di tempatnya.

Untuk ukuran seseorang yang berusaha terlihat ketakutan, nyatanya wanita itu masih cukup berani untuk berdiri di sana meski Gwen sudah meneriakinya dengan berbagai macam makian sekalipun. Wanita itu bahkan jelas-jelas membalas tatapan matanya, sama sekali tidak memalingkan tatapannya dari Gwen sedikitpun.

Amarah Gwen seperti dipancing, Gwen tidak bisa menahan dirinya lagi dan melangkah mendekati wanita itu. Kalau Gwen, Amora atau mamanya merasa sakit karena wanita itu, bukankah adil untuk membuat wanita itu juga merasakan sakit yang sama? Tidak secara batin, tapi Gwen setidaknya bisa melakukannya pada fisik wanita itu, kan?

Pengantin PesananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang