4. Empat

100 14 0
                                    

"Lo yakin nggak mau dirawat dulu untuk sementara?" Pria berjas dokter bernama Erick menatap khawatir lawan bicaranya, mata Erick mengekor setiap gerakan yang dibuat pria itu. Pria dengan perawakan campuran antara Indonesia dan Asia Timur yang kental, sangat terlihat di wajahnya yang oriental.
"Kalau pun gue milih untuk dirawat, jelas gue nggak akan milih untuk dirawat di sini." Liam, pria yang dimaksud menanggapi dengan ringan, berbanding terbalik dengan ekspresi wajah Erick yang kini sudah memasang raut masam.
"Apa maksud lo? Rumah sakit tempat gue kerja ini nggak mampu kasih perawatan terbaik buat lo, gitu?" Liam tertawa renyah.
"No comment." Liam mengangkat bahu Acuh tak acuh, pria itu melangkah meninggalkan sosok yang merengut, membuka pintu, keluar dari ruangan serba putih yang berada di salah satu sudut rumah sakit tempat ia berkunjung kali ini.
"Sial. Asal lo tahu, kalau lu mau gue bisa minta-" Erick mengumpat, meski begitu dia juga mengekori sahabat lamanya itu keluar dari ruangan.
Yang diajak bicara hanya mendengarkan sambil lalu, entah masuk ke dalam kepalanya atau hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, pasalnya apa yang diucapkan Erick bukanlah sesuatu yang pertama kali Liam dengar.
"Saya nggak ada urusan lagi sama laki-laki itu, kalau kalian mau bawa saya ke kantor polisi, bawa aja."
"NGGAK! Nggak ada yang boleh bawa putri saya ke mana pun! Kalau kalian mau, bawa saya aja. Saya yang akan tanggungjawab atas apa yang udah Gwen perbuat."
"Ma!"
"Gwen, biar Papa yang-"
"DIEM!"
Suara keras itu yang membuat perhatian Liam dan Erick teralihkan, keduanya sama-sama terdiam dan menoleh ke arah sumber keributan.
"Papa?" Seru suara gadis muda yang terlihat tidak percaya dengan kata-kata yang meluncur dari mulut pria paruh baya di hadapannya. Gadis muda itu Gwen, dari sudut pandang Liam dan Erick.
"Anda masih sebut diri Anda-Papa di hadapan saya?" Dengusan yang sebenarnya terdengar dan terlihat tidak sopan itu keluar dari mulut Gwen, tapi siapa yang peduli? Sebab sungguh, Gwen bahkan kini tidak peduli lagi dengan keadaan di sekitarnya.
"Berhenti bicara omong kosong. Saya dan Anda sama sekali udah nggak ada hubungan apapun-ah, bahkan bukan hanya sama saya, tapi sama Amora juga Mama yang udah Anda campakan demi wanita jalang it-"
PLAK!
"PAPA!"
Napas memburu terdengar dari sang pria paruh baya, Adian Hartanto yang sampai kemarin-masih Gwen panggil dengan sebutan Papa.
"Jaga bicara kamu Gwen. Jaga ucapan kamu."
"Kenapa? Nggak terima kalau apa yang saya bilang itu kenyataan? Kalau selera Anda itu memang cuma seorang jalang!"
"GWEN!"
"Apa? Mau tampar saya lagi? Pukul? Silakan?! Silakan kalau memang itu bisa bikin hati Anda lega? Puas? Silakan tampar! Pukul saya! Pukul!"
"Gwen, cukup, Sayang. Biar Mama yang ngomong sama Papa kamu, biar Mama yang-"
"Apa? Mama masih mau belain dia? Masih mau ngertiin dia? Mama mungkin memang berhati semalaikat itu, yang meski dikhianati dan dicampakan masih bisa berbaik hati sama dia. Mama mungkin bisa, tapi Gwen nggak bisa, Ma! Gwen nggak bisa!"
"Gwen..."
"Mama tahu apa yang dia lakuin ke Gwen semalem? Mama tahu apa yang dia lakuin buat lindungin wanita simpanannya itu?! Demi lindungin perempuan murahan itu, karena takut Gwen nyakitin perempuan kesayangannya itu, Gwen diseret seperti binatang!"
Tidak. Belum selesai. Gwen belum selesai dengan apa yang kini meluap di kepalanya.
"Hubungan darah? Kalau itu alasan Gwen masih harus homatin dia, sebaiknya suruh dia berkaca. Dia yang lebih dulu rusak hubungan darah ini. Dia yang lebih dulu buang kita demi perempuan murahan itu! Demi cinta munafik yang dia agung-agungkan! Demi perasaan kotor yang dia sebut cinta!"
"Gwe...nn-"
"Kalau cinta memang sekotor itu, Gwen nggak akan pernah cinta siapapun! Nggak akan pernah mau jatuh cinta sama siapa pun!"
Sakit? Kecewa? Sedih? Rasanya Gwen tidak lagi merasakan hal itu. Ini toh bukan yang pertama, kan? Bukan yang pertama sang Papa menamparnya. Ingat bahwa Gwen sudah menerima hal yang sama semalam? Saat ini bukan perasaan melankolis macam itu lagi yang Gwen rasakan, melainkan marah, muak, benci sebenci-bencinya. Gwen hanya tidak ingin melihat laki-laki di hadapannya itu lagi. Tidak ingin berurusan dengan laki-laki itu lagi. Sungguh.
Gwen melangkah meninggalkan semua orang yang berkeliling di sekitarnya. Entah berapa banyak dan siapa saja yang ada di sana, yang Gwen tahu dirinya memang sudah menjadi tontonan di rumah sakit. Meski saat itu keadaan rumah sakit sebenarnya tidak terlalu ramai, tapi kenyataan bahwa dirinya sudah menjadi pusat perhatian jelas tidak bisa ditampik.
Polisi? Pasien? Dokter? Keluarga pasien? Petugas rumah sakit? Gwen tidak peduli, dia hanya ingin pergi, secepatnya pergi dari tempat itu, bukan karena malu-tidak, Gwen sama sekali tidak memiikirkan hal itu, masa bodo dengan urat malu, yang pasti Gwen hanya ingin menyingkir, tidak lagi berada di tempat yang sama dengan laki-laki yang sangat dibencinya. Gwen takut ucapannya lebih menyakiti mamanya lagi, Gwen takut justru amarahnya akan menyakiti orang yang paling disayanginya.
Gwen tidak peduli polisi akan mengejarnya, Gwen bahkan tidak peduli jika dirinya dianggap melarikan diri, dia hanya perlu ke kantor polisi dan melarikan diri, kan? Itu terdengar lebih baik dibandingkan masih harus berurusan dengan pria dan wanita jalang itu.
Wajah lebam Gwen karena benturan yang diterimanya semalam, ditambah kantung mata karena tidak bisa tidur selama 48 jam belakangan membuat penampilan gadis cantik itu kini sangat berantakan. Siapa pun yang melihatnya akan sadar, akan paham kalau keadaan gadis itu memang sedang kacau dan tidak dalam kondisi yang baik, terlebih karena mendengar semua percakapan dan keributan tadi, jelas sudah alasan dan penyebabnya, bukan.
Hal yang sama pula ditangkap oleh Liam dan Erick, yang berpapasan dan bertukar pandang dengan Gwen yang melewati mereka.
Tidak ada keramahan di sorot matanya, yang ada hanya luka, amarah, dan kebencian yang meluap. Liam paham itu bukan tertuju untuknya, tapi entah bagaimana Liam bisa merasakan hanya dengan beberapa detik mata mereka bertukar pandang. Tidak lebih dari tiga detik, tapi Liam bisa meraskan semua perasaan negatif itu. Terbayang sebesar apa amarah dan kebencian yang ada di dalam diri gadis itu? Jelas sangat besar hingga orang asing sepertinya saja bisa merasakannya, bukan?
"Liam?"
Liam memutar tubuhnya mengikuti punggung Gwen yang dengan cepat menjauh dari pandangannya. Untuk beberapa saat pria itu terdiam dan hanya memandang dalam bungkam, tidak tahu alasan mengapa dia terus menatap kepergian gadis yang tidak dikenalnya itu. Hanya satu yang Liam tahu, "Gwen" nama yang tadi dia dengar dan disebut-sebut dalam keributan tadi. Sisanya? Liam sama sekali tidak paham mengapa dirinya begitu terpaku memandang punggung gadis itu yang berlalu dan menyiskan perasaan yang membingungkan ini.
"Park Liam!"
"Park Junho!" Teriak Erick untuk yang kesekian kali hingga harus memanggil sahabat lamanya itu dengan nama aslinya.
Saat itulah Liam baru kembali, setelah untuk beberapa menit yang terlewat dirinya seperti dihipnotis sesuatu.

____

Guyss... baca kelanjutannya di innovel akun @Sa_Saki ya! Bakal up setiap hari di sana, masih gratis! :D

Pengantin PesananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang