5. Lima

77 14 0
                                    

"Bos dan pendiri dari kerajaan bisnis properti itu akhirnya kehilangan semua sahamnya dan harus menanggung hutang--"

"Oi, Park!"

Liam terbangun dari lamunan, ah atau tidak tepat jika disebut dirinya sedang melamun? Karena sebenarnya pria itu justru tengah menyaksikan dengan intens sebuah berita di televisi umum cafe yang dikunjunginya malam itu.

"Ah, lo udah dateng, Sak." Timpal Liam tidak terlalu antusias sebenarnya mendapati rekan kerjanya yang bernama Sakti itu.

"Dari tadi gue panggilin juga. Lagi merhatiin apa sih?" Tanya pria yang menghampiri Liam itu heran, mereka janji bertemu di sana, ketika di hampiri dan disapa Liam justru entah sedang ada di dunia mana.

Dagu Liam bergerak menunjuk ke arah televisi yang terpasang di sudut cafe, tak jauh dari posisinya dan Sakti berada.

"Itu... bukannya salah satu perusahaan yang kerjasama sama lo, ya?" Tanya Liam mengalihkan pandangannya dari Saki kembali ke televisi.

Siaran berita mengenai hancurnya kerajaan properti yang sudah lama mendominasi Indonesia itu kini sudah tersiar di mana-mana, bukan hanya kali ini Liam dengar sebenarnya, tapi baru kali itu saja dirinya menyimak dengan benar mengenai pemberitaan yang tengah gencar disiarkan di mana-mana itu.

"Hm, sayang banget, kan? Untung sebelum menjadi-jadi kayak sekarang gue udah tarik semua saham gue dari sana, makanya gue nggak terlalu kena dampaknya, yah... walaupun tetep rugi karena harus jual dengan harga murah waktu itu."

Mendengar ucapan Sakti membuat Liam tertarik, pria itu meninggalkan layar televisi dan kembali ke lawan bicaranya.

"Lo ngomong gitu seolah-olah udah tahu bakal kayak gini jadinya."

Sakti mendengus, memandang malas ke arah Liam.

"Orang kurang update kayak lo memang nggak akan tahu sih, tapi gue udah bisa baca kejadian ini dari beberapa bulan lalu."

Dahi Liam berkerut, terlihat bingung dengan penjelasan Sakti yang separuh.

"Ck, bukannya gue tukang gosip atau apa ya, tapi sebagai pembisnis kita memang harus hati-hati dan berjaga-jaga sama rekan bisnis kita sendiri, kan? Apalagi jumlah yang udah kita investasiin ke mereka nggak main-main."

"To the point please." Sambar Liam yang tidak merasa perlu mendengar penjelasan temannya itu secara detail.

Sakti mendengus, tahu kalau Liam memang bukan tipe orang yang bisa diajak bicara ngalor-ngidul, malas juga memberithunya sebenarnya, tapi karena Sakti yang memancing topik itu lebih dulu, ia merasa harus bertanggungjawab atas rasa penasaran Liam.

"Ya intinya, gue udah denger dari beberapa bulan sebelum semua ini terjadi kalau dia--" Giliran dagu Sakti yang menunjuk ke arah layar televisi, memperkuat objek yang sedang dibicarakannya. "Main kotor sama perempuan yang akhirnya bakal bikin keluarganya sendiri ancur. Dan lo tahu apa, kan? Kalau keluarga ancur itu sampai kecium ke publik, apalagi orang yang berpengaruh kayak dia. Ancur juga bisnisnya." Bahu Sakti terangkat, "Lihat sendiri, semuanya bener-bener ancur sekarang."

Liam terdiam, tidak berkomentar atas apa yang sudah dijabarkan Sakti. Pandangannya malah kembali ke layar televisi, entah dengan pikiran yang tertuju kemana.

"Sebenernya siapa sih yang nggak suka sama perempuan, semua juga sama, cuma mainnya rapih aja sampai di depan publik kelihatannya keluarga kita harmonis. Ya, nggak?"

Tidak ada tanggapan lagi, ekspresi Liam masih sama datarnya. Sakti yang menyadari hal itu hanya bisa menghela napas, mengalihkan topik yang sepertinya lebih bermanfaat dibandingkan membicarakan berita yang belum terlihat kapan berakhirnya.

Pengantin PesananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang