4. Jalan-Jalan

170 36 0
                                    

Jarum jam menunjukkan pukul satu pagi, tetapi seorang pria masih bergelut dengan benda persegi panjang di hadapannya. Jarinya sibuk berselancar di atas keyboard. Segelas kopi panas menemani malam panjangnya yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

"Belum tidur, Phi?" Ford memperkecil jarak dengan Mark yang duduk di sofa.

Suara lembut itu seketika mengalihkan fokus Mark dari layar laptopnya. "Belum. Kamu kenapa bangun? Besok kamu harus ke kampus, kan?"

Ford mengangguk. "Iya, tapi tadi aku kebangun dan gak lihat Phi di kamar."

"Aku masih ada kerjaan. Kamu tidur aja lagi. Takutnya besok kamu telat."

"Enggak, ah. Aku mau temani Phi sampai kerjaannya selesai. Mau aku masakin sesuatu gak?"

Mark tersenyum getir. "Gak usah repot-repot. Nanti kamu kecapean terus sakit lagi."

"Takut aku sakit, atau takut perutmu yang sakit, Phi?" Ford bertanya dengan tatapan penuh selidik.

Pertanyaan Ford sontak membuat Mark menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Yah, kurang lebih begitu."

"Aihh ... trauma sama nasi goreng dan telur dadar gosongku?"

"Kenapa mikirnya gitu? Apa pun yang kamu masak, pasti aku makan, kok, tapi untuk sekarang enggak dulu. Gimana kalau kita keluar jalan-jalan sambil cari makan?" Usul Mark.

"Di jam segini?" Ford bertanya tidak percaya. Di saat tetangga lainnya terlelap nyaman, mereka malah memilih ke luar rumah dan bepergian.

"Memangnya kenapa? Gak ada larangan untuk keluar di jam 1 pagi, kan? Besok kamu kuliah dan aku pun akan sibuk di studio sampai sore. Mumpung ada waktu, ayo kita pergi sekarang." Mark menutup laptopnya lalu menarik tangan Ford agar lelaki itu beranjak dari tempat duduknya. Sejujurnya, Ford enggan pergi ke luar, tetapi ia tidak bisa menolak ajakan Mark.

Langit gelap tanpa bintang, tetapi kedua insan itu menikmati waktu mereka. Berkendara santai di jalanan lengang dan sepi. Lampu jalan menjadi teman setia yang mengiringi perjalanan singkat mereka.

Mark menarik tangan Ford lalu melingkarkannya ke pinggang. "Gak ada salahnya, loh, kamu peluk aku," katanya memecah keheningan.

Ford tertawa kecil sembari mengeratkan pelukannya. Dikarenakan jalanan sepi, ia bisa memeluk, tanpa takut dilihat orang lain. Sangat berbeda jika dilakukan di siang hari dengan kondisi jalanan yang padat merayap.

Butiran air mulai jatuh membasahi bumi. Intensitasnya semakin lama semakin deras. Mark melajukan sepeda motornya cepat dan memutuskan memarkirkannya di sebuah halte bus yang kosong.

"Hujannya lebat. Kita berteduh di sini sampai hujannya reda," tukas Mark seraya mendudukkan diri.

Ford mengangguk dan ikut duduk pada bangku panjang itu. Dinginnya angin malam membuat tubuhnya sedikit bergetar.

"Kamu kedinginan, ya?"

Ford tersentak kaget saat Mark menggenggam tangannya. Bukannya menyalurkan kehangatan, Mark malah menambah rasa dinginnya.

"Lupa kalau tanganku basah," cetus Mark dengan deretan gigi yang ditunjukkan. Ia lalu beranjak dari tempat duduknya dan mengambil sesuatu dari dalam jok sepeda motor. "Pakai sarung tangan ini untuk menghangatkanmu."

Ford menerima sarung tangan itu lalu mengenakannya. "Makasih, Phi."

"Makasih apa? Kesehatanmu adalah tanggung jawabku. Kamu itu mudah sakit dan salahku mengajakmu keluar begini." Mark mengembuskan napas berat di akhir penuturannya.

"Iya, ini gara-gara Phi yang ajak keluar di jam segini. Tapi aku mana bisa marah. Kalau aku sakit, kan, ada Phi yang akan rawat aku."

Mark tertawa singkat. "Bisaan kamu, tapi bayaranku gak murah, loh."

"Seberapa mahal, sih? Aku harus bayar pake apa? Emas? Berlian?"

Mark mendekatkan wajahnya ke wajah Ford. "Bayar pake kamu aja udah cukup kok," jawabnya dengan senyum merekah lebar.

Selesai.

Love Will Find a Way [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang