Chapter 06

341 186 63
                                    

Temaram langit tak menyurutkan suasana bising gedung-gedung istana, tepatnya di koridor. Kini, kebanyakan pegawai sibuk berbincang tentang Jayveer Brant.

Tidak biasanya hal ini terjadi, lantaran istana tak mentolerir seorang pun yang membuat keramaian. Namun, karena orang tersebut adalah orang kepercayaan Putra Mahkota, mereka jadi heran dan mulai menyempatkan berbincang.

"Kudengar Sir Jayveer Brant telah menangkap dalang pembunuhan wanita selama ini. Lalu, kenapa dengan itu? Lagi pula itu hal yang baik!" seru salah satu pelayan yang ikut berkerumun dengan pegawai lainnya.

"Hei! Kau tidak dengar berita lengkapnya?!" kata pelayan rambut sebahu yang di tangan kirinya terdapat kemoceng.

"Sssst! Jangan keras-keras kalau bicara!" sahut pelayan lain yang lebih parah. Dia bahkan menghentikan aktivitas menyapu koridor.

"Ups, maaf. Habisnya–!" gemas si pelayan rambut sebahu itu memanyunkan mulut.

"Sudah-sudah! Biar aku yang jelaskan ke dia." Tampak, kesatria penjaga pintu menengahi.

Sembari menggantungkan lilin baru di dinding, Neola mendengar setiap kata perkata dari mereka. Tanpa disengaja, Neola pun mengetahui fakta bahwa Jayveer sekarang sedang dalam keadaan buruk.

"Tapi, kasihan sekali dia. Misal mendapat penghargaan pun tidak ada gunanya kalau ... ternyata, orang yang ia anggap sebagai ibu adalah buronan yang selama ini dicari?"

Pelayan rambut kuncir kuda menyahut. "Ya, sungguh disayangkan kita malah semakin melihat wajah suramnya."

Para wanita bersimpati, termasuk pelayan rambut sebahu. "Huaaa, benar! Padahal, aku sudah lama menunggu ia tersenyum."

Mulai mendengar ocehan fanatik para wanita, dua kesatria penjaga pintu di sana saling menatap dan mengedikkan bahu.

"Sudahlah. Tidak ada harapan bagi kita untuk melihat bibir seksi itu terangkat."

Neola menggelengkan kepala pada percakapan terakhir yang didengar. Dia kemudian bersiap melangkah pergi dari sana. Tetapi sebelum itu, pelayan rambut sebahu ....

"Hei, Bisu! Tangkap!"

Neola merentangkan tangannya begitu melihat lilin yang tadi ia gantung, mendadak terhempas ke arahnya.

Masih dalam kondisi api menyala, Neola berhasil menangkap. "Ack!"

Telapak tangan Neola sedikit terbakar. Beruntung saat terlempar sang anala kian redup.

Bukannya membantu, semua pegawai yang berkerumun di sana bahkan menertawai Neola.

"Pftt, barusan kalian dengar rintihannya? Kupikir dia tidak bisa bersuara," ucap seorang kesatria penjaga di sana.

"Hihihi, rasakan! Siapa suruh salah bawa lilin," tambah si pelayan rambut sebahu.

Pelayan kuncir kuda menimpali. "Ya. Kamu seharusnya bawa lilin yang besar, Bodoh!"

Bukankah lilin kecil ini ... salah satu dari kalian yang membawakannya kepadaku untuk dipasang? Neola membatin. Selanjutnya ia hanya bisa mendengus. Jika diladeni dengan amarah, itu akan memperburuk keadaan. Toh, ia tidak mungkin menang melawan lima orang lebih. Lantas, ia pun pergi memperbaiki kesalahan seperti yang mereka bilang.

"Si Bisu itu, apa kita kasih tahu saja kalau lilin yang benar berukuran sedang?"

"Iya juga. Nanti dia bawa yang paling besar lagi, haha."

"Jangan, Bodoh! Biarkan saja dia bolak-balik."

💮❄️❄️❄️💮

Seorang pria dengan poni tebal menutupi mata, tengah berdiri menghadap Putra Mahkota. Tak begitu jelas ekspresi yang digambarkan. Namun, nan pasti pria tersebut seperti sedang menutupi lara.

Belas Kasih Putra Mahkota | TXT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang