Chapter 07

308 194 50
                                    

Tanggal tujuh, bulan keempat, tahun 214 Waktu Utara. Hujan es turun deras di wilayah Frostine pada malam hari. Embusan angin yang meluncurkan batu es ke jendela, membuat gedorannya pun tak jarang hingga suasana kian bising.

Jayveer memilih melemparkan diri ke ranjang. Netranya mengarah ke langit-langit kamar. Perlahan, pria itu tenggelam pada kenangan yang selama ini tak pernah ia ungkit dengan siapa pun, termasuk sang empu.

Kisaran 10 tahun lalu.

"Bu, kenapa belakangan ini orang-orang yang berkunjung semakin dikit?" tanya Jayveer kecil kepada seorang wanita paruh baya yang sudah ia anggap seperti ibunya.

Wanita itu menunduk, menjawab pertanyaan Jayveer yang ada di pangkuannya. "Jay tahu, kan? Selama ini Ibu berusaha keras untuk membesarkan kalian semua."

Jayveer memotong pembicaraan. "Iya, Jay tahu Ibu. Tapi, apa salah kita pergi untuk melanjutkan kehidupan baru dengan keluarga baru?"

Wanita berlencana kepala panti asuhan itu, menatap lamat-lamat Jayveer sebelum akhirnya ia menyemburkan tawa.

"Bu! Kok, ketawa bukannya jawab?"

Selang beberapa waktu, wanita itu akhirnya berhenti tertawa dengan air muka yang seketika berubah dingin. "Setelah dibuang, para Bajingan itu enak saja ingin mengambil kembali ...."

"A– apa Ibu?" tanya Jayveer sedikit ketakutan, memastikan ucapan lirih yang ia dengar.

Lagi-lagi bukannya menjawab, sekarang wanita itu malah tersenyum penuh arti. "Tidak. Tidak apa-apa, Jay."

Wanita itu menepuk kepala Jayveer hingga membuat anak itu menyipit.

Wanita itu menurunkan tubuh Jayveer, lalu berdiri. "Ya sudah, kamu ikuti yang lain sana ke kasur! Ibu mau mengambil buku dongeng untuk dibacakan hari ini."

Kembali ke tahun 214. Jayveer yang kini merasa sangat kecewa lantaran sikap ibunya, tiba-tiba tebersit ucapan Neola.

"Aku yakin, dia melakukannya karena dia menyayangimu. Dia mungkin adalah orang tulus pertama yang kautemui."

Jayveer senyum-senyum sendiri mengingatnya. Ia lalu bermonolog, "kau benar Neola. Biar bagaimanapun dia sangat sayang pada anak-anak. Tapi, apakah sampai harus membuat wanita yang diidolakan oleh kami pergi ke peti mati?"

Emosi yang membuncah melunturkan senyum Jayveer. Ia kembali meratapi kekecewaan dari ibunya yang egois.

"Mengapa dulu Ibu meminta kami untuk memilih potret orang yang sekiranya akan datang mengadopsi?"

Tangan besarnya menyeka air mata yang berhasil lolos ke pipi. "Jika saja, kami tidak memilih ... mungkinkah Ibu tak meluluhlantakkan mereka?"

Badannya bergetar. Kala itu ia menyadari, kalau Marchioness Kalista yang menjadi guru kelas Putra Mahkota adalah orang yang dulu ia pilih sebagai ibu idola.

Tak ada alasan untuk melarang pria menangis. Rudita tak selalu membuat pikiran lega. Hanya saja, usai air mata membuat Jayveer merasakan arti keikhlasan.

"Berkat pekerjaan ini, aku harus siap melihat eksekusi Ibu yang kubuat sendiri."

💮❄️❄️❄️💮

Penyihir Agung Terence berkata sarkas. "Kau semakin dewasa, ya, Yang Mulia. Kukira selama ini cuma tinggi badanmu saja yang berkembang."

Dengan ekspresi tajamnya, Shannon duduk di kursi tamu yang disediakan mendadak dalam Menara Sihir. "Berhenti bicara omong kosong! Saya di sini ingin mendengar alasan kenapa Neola tak diberi kekuatan telepati yang sempurna. Anda pun tahu dampaknya yaitu kebocoran informasi."

Belas Kasih Putra Mahkota | TXT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang