Chapter 7: Tolong, Percaya Sama Aku?

1.3K 201 26
                                    


Saat pertama kali Anca memutuskan untuk terjun ke dunia hiburan, dia benar-benar melakukannya tanpa persiapan apapun. Hiro, salah satu mahasiswa Indonesia yang juga menimba ilmu di kampus yang sama dengannya, sedang bertengkar dengan pacarnya yang akan mengikuti audisi sebuah peran di film Hentikan Derai Hujan. Pertengkaran lewat telepon itu tentu membuat Anca heran dengan sikap cowok yang dia kenal penyabar dan riang itu.

"Ada kesempatan lain nanti, Pris. Please, I can't go home now!" Hiro setengah berteriak saat itu, terlihat sangat kesal karena diskusinya dengan pacarnya terasa tak berujung.

Hiro berakhir menggeram kasar sambil menutup teleponnya.

"You okay?" tanya Anca. Hiro membalasnya dengan gelengan kepala.

"Pacar gue batu banget. Dia minta ditemenin audisi, tapi gue nggak bisa pulang. Lagi." Hiro mendesah putus asa, menekankan kata 'lagi' dengan nada penuh amarah. "Dua bulan ini gue ada bolak-balik Indo-Singapur tujuh kali tau, Ca. Cewek gue ngeluh depresi karena tiga kali audisi dua bulan ini ditolak terus."

"Audisi?"

"Film. Dia aktris baru, sih. Baru main di dua film, jadi figuran. But she's serious about it."

"Whoa! Pacar lo artis?" Anca bertanya takjub. Hiro meringis kecil.

"Nggak—belum terkenal, Ca. Lo nggak bakal tau." Hiro buru-buru mengoreksi ucapannya sendiri. "Gue bilang ke dia mending fokus ke kuliahnya dulu. Kesempatan bisa datang lagi lain kali. Kalau dikejar terus dan dia banyak ekspektasi, gue khawatir malah dia yang beban pikiran. Tapi yah. Susah banget ngomong sama orang yang tekadnya udah bulat gitu."

"Bagus, kan? Dia tau cita-cita dia apa, dia juga serius ngejar apa yang dia mau?"

"Iya, sih. Tapi... dia sering self harm kalau gagal, Ca. Gue yang paranoid kalau dia udah kumat sementara gue jauh begini. Gue nggak bisa pulang minggu ini karena bimbingan akhir sama dosen. Dan gue juga kehabisan duit buat pulang lagi."

Anca mengerjapkan kedua matanya. Menatap Hiro yang menekan-nekan ponselnya, tampak sedang berusaha menghubungi kembali kekasihnya.

Anca tidak tau bagaimana sejarah pacaran kawannya itu. Dia juga tidak tau bagaimana rupa dan kepribadian kekasih Hiro. Seorang Hiro yang sabar dan riang, rela bolak-balik menemani pacarnya—yang seharusnya lebih fokus memperbaiki kesehatan mentalnya—untuk audisi? Anca sungguh tidak ingin sembarangan menilai mereka semua karena dia merasa keluarganya juga sama 'sakit'nya.

Bagaimana bisa mereka menganggap Anca akan baik-baik saja sementara mereka jelas memperlakukan dia dan Nayla begitu berbeda? Mereka pikir mereka bisa seenaknya mengatur hidupnya, sementara dia tak punya pilihan apapun? Anca was so sick of it.

"Kapan audisinya?"

"Besok lusa."

"Gue pulang ke Jakarta. Kalau gue yang jagain pas audisi gimana?"

Hiro mendongak kali ini. Dahinya mengernyit.

Anca mengedikkan bahu. "Gue... mau ikut audisi juga."

Kening Hiro mengernyit semakin dalam. "Audisi film, Ca? Lo?"

"Kenapa?"

Hiro mengerjapkan mata, bingung. "I thought—lo bukannya mau lanjut ke UC Berkeley?"

"Well—" Anca mengedipkan mata dengan otak yang berputar cepat, "at least I should try?"

Coba-coba gila, lebih tepatnya. Karena keputusan ini Anca buat begitu mendadak hanya karena kesal pada Papa dan Mama—juga Nayla, dan mendengar problem temannya itu. Boro-boro audisi film, dulu dia maju ujian praktek membaca puisi saja harus latihan dua hari karena bingung menyuarakan intonasi yang tepat.

It's Okay If It's With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang