Epilogue: Selamanya Aku, Boleh?

2K 221 50
                                    


"Windry sehat?"

Sejujurnya, Windry tidak ingin berbasa-basi. Sejujurnya, dia ingin langsung bertanya, "mau Tante apa?" pada wanita yang sedang duduk di hadapannya ini. Namun Windry tidak ingin semakin memperkeruh hubungan mereka yang sudah terjun bebas di dalam kubangan lumpur.

"Sehat. Tante... sekeluarga? Sehat?"

Tante Lina tersenyum kecil. "Lumayan," ia menjawab dengan suara lirih. "Maaf ya, ngajak kamu ketemuan jauh-jauh ke sini. Ayahmu dan Gista nggak suka belanja di supermarket ini. Makanya mereka nggak mau ikut ke sini. Mereka juga nggak tau Tante ngajak kamu ketemuan hari ini."

Kemarin, Tante Lina mengirim pesan pada Windry, mengajaknya bertemu di sebuah supermarket dekat rumah Ayah. Windry sebenarnya ingin menolak ajakan tersebut, tapi sialnya, ada Anca yang sedang mengupas mangga di sampingnya saat ia membaca pesan itu. Anca mendukungnya untuk bertemu dengan Tante Lina. Beralasan bahwa setidaknya ada satu orang yang ingin berbicara padanya. "It's a start, Sayang. Kamu nggak mau kan, selamanya musuh-musuhan begini? Nggak enak, kan?" ujar Anca saat itu.

Maka di sinilah Windry sekarang. Anca tadinya ingin menemani, tapi Windry menolak karena Anca berniat bolos syuting lagi. Windry sudah cukup pening dengan hujatan yang dilayangkan pada Anca karena menghilang saat syuting di Bali kala itu. Mas Dodi sampai menelepon Windry dan meminta gadis itu untuk mengomeli Anca jika Anca aneh-aneh lagi.

"Nggak apa-apa, Tante. Suasana baru," jawab Windry, berusaha menghibur Tante Lina. Wanita itu tersenyum hambar.

"Tante... minta maaf soal kejadian lebaran kemarin. Kamu.. masih marah?"

"Marah untuk apa? Saya yang harusnya minta maaf karena mengacaukan hari itu. Saya juga secara nggak langsung menyinggung Tante dengan membuka luka lama Tante dan Gista. Saya kelewatan hari itu."

Tante Lina menggelengkan kepala. "Tetap saja. Gista yang memulai itu semua. Kamu nggak akan ngomong begitu kalau Gista nggak mancing,"

Kali ini, Windry hanya diam. Dia tidak sepenuhnya menolak pernyataan tersebut. Windry hanya menundukkan kepala, tak berniat bermanis-manis meralat ucapan Tante Lina.

"Ini salah Tante dan Ayah yang terlalu memanjakan Gista. Selama ini, kamu nggak pernah protes dan datang ke rumah setiap tahun. Kami pikir, kamu baik-baik aja. Ayah dan Tante mengira, kamu bisa menerima Gista sebagai adik dan kamu bisa bersikap sebagai kakak. Kami nggak sadar kalau ternyata Gista bakal se-nggak suka itu meski selama ini kamu bersikap netral,"

Windry mendongak, menatap wajah Tante Lina yang terlihat penuh penyesalan.

"Gista itu dekat sekali sama Ayah kamu. Dia selalu cerita apapun sama Ayah kamu. Mungkin karena itu, setiap kamu datang, dia merasa kamu bisa saja merebut perhatian Ayah kamu. Padahal selama ini kamu... nggak sepenuhnya dapat perhatian itu dari Ayah kamu."

'Nggak sepenuhnya'. What a wrong statement. Windry bahkan tidak pernah mendapatkan pertanyaan sesederhana, "lagi apa?" atau "apa kabar?" dari Ayah sepanjang hidupnya. Windry-lah yang selalu datang menghampiri. Sejak dulu, memang tidak pernah ada usaha apapun dari Ayah untuk mengambil peran sebagai orang tua untuk Windry.

Kalau Windry selalu datang ke rumah Ayah setiap tahun, itu semua berkat kalimat horor dari guru agamanya sejak SD yang berkata bahwa anak durhaka nanti masuk neraka. Windry bukan orang baik, tapi setidaknya dia tidak ingin dicap sebagai anak durhaka yang pasti masuk neraka. She really tried.

"Saya nggak pernah berharap Ayah balas memberi perhatian, Tante. Saya lakukan itu karena saya nggak mau dicap jelek jadi anak durhaka." ujar Windry, terus terang. Tante Lina tersenyum kecil mendengarnya.

It's Okay If It's With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang