Chapter 1: Kapan Kamu Lihat Aku?

1.7K 229 23
                                    


"Duduk, Ca!" Suara Linda membuyarkan lamunan Panca yang tampak kikuk memasuki ruang OSIS SMA Persada.

Wajar saja dia merasa canggung, dia baru saja menginjakkan kaki di sekolah ini selama beberapa bulan.

Kehadirannya di ruang OSIS kali ini pun karena kebetulan dia menorehkan prestasi selain statusnya sebagai siswa kelas akselerasi: memenangkan olimpiade astronomi internasional di Jepang. Dia kembali ke sekolah ini dengan linglung karena semua mata tampak mengelu-elukannya. Semua mata melihatnya seolah dia adalah anak ajaib—atau alien, Panca tidak tau—yang nyasar ke sekolah ini.

Karena keajaiban itulah, Panca didapuk menjadi model cover majalah sekolah mereka untuk edisi bulan ini. Dan saat ini dia akan difoto dan diwawancarai langsung oleh Pemred majalah sekolah, Linda.

"Nggak ngerepotin kan, Ca?" Tanya Linda, berbasa-basi, saat Panca sudah duduk di kursi di hadapannya. Di antara mereka terdapat meja panjang dengan laptop yang menyala di hadapan Linda. Siap ia gunakan untuk mengetik jawaban Panca.

"Santai, Kak."

"Nggak ada les atau kerja kelompok atau apa gitu? Persiapan lomba lainnya?"

Panca menggaruk pipinya sambil tersenyum kikuk, "nggak ada, beneran lagi kosong kok,"

Linda mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Oke, kalau gitu pertama-tama gue mau mengucapkan terima kasih lo udah bersedia diwawancarai untuk majalah sekolah kita. Nggak apa-apa nih, gue ngomong santai gini? Biar lo nggak tegang banget gitu,"

Panca terkekeh pelan kali ini. "Nggak apa-apa, Kak. Saya juga makasih. Tau aja kalau agak nervous."

Linda tergelak. "Kelihatan banget kali, Ca! Santai aja, kita nggak bakal nulis berita hoax tentang lo, kok. Kalo sampai salah informasi, lo tau harus menghubungi siapa."

Panca mengangguk-anggukkan kepala, masih dengan tawa kecilnya.

"Oke, gue nggak mau menyita waktu lo lama-lama. Kita langsung aja ke pertanyaan pertama ya. Gimana perasaan lo sewaktu dinyatakan sebagai pemenang olimpiade astronomi kemarin?"

"Senang banget. Sejujurnya nggak menyangka bakal sampai sejauh ini karena—"

"Halooooo! Eh maaf, maaf!" Suara seseorang memecah konsentrasi Linda dan Panca. Kedua mata mereka tertuju pada seorang gadis yang sedang membopong beberapa kertas manila dan karton ke dalam ruangan.

"Yang lain mana, Win?" Linda tidak bisa tidak bertanya pada orang yang dipanggil 'Win' itu. Gadis itu meletakkan tumpukan manila dan karton itu secara sembarangan di meja sebelah yang ukurannya lebih kecil. Menjawab pertanyaan Linda, ia menggelengkan kepala tanda tak tahu sambil mendesah kecil.

"Kita nggak bisa mengajukan punya ruang sendiri, nih? Gue capek banget loh nanti ribut lagi sama Edgar karena naruh barang-barang mading di sini," keluhnya. Linda terbahak.

"Sabar, lah. Kalau kita punya ruangan sendiri tuh malah nggak efisien. Lagian ruang OSIS juga jarang dipakai kecuali kalau ada rapat doang."

"Tapi gue juga yang kena karena gue yang jadi koordinator mading. Gue gabung di majalah sekolah ini karena terpaksa ya, malah kerjaan gue yang paling banyak,"

Linda lagi-lagi tertawa. Tangannya memutar-mutar pulpen dengan santai. "Emang harusnya mading tuh wafat aja. Anak-anak juga nggak ada yang merhatiin kalau bukan karena balot dua mingguan atau liat pengumuman penting."

Mading di sekolah mereka sudah terlanjur dibangun secara permanen, sehingga harus dirusak dan butuh biaya tidak murah jika ingin menghilangkannya begitu saja. Sementara kalau dibiarkan, akan mengurangi nilai fungsi dan estetikanya.

It's Okay If It's With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang