"Jauh di sana, bukan berarti lupa dengan yang ditinggalkan"
-Elamar Nensyano
Eps 9
H
A
P
P
Y
R E A D I N G_____________________________________
Menyeruput secangkir kopi buatan Gendra, tak manis dan tak pahit, rasa yang benar enak di lidah. Sudah lama Amar merindukan kopi buatan Gendra, sebab ahli urusan dapur Gendra juaranya.
Mereka semua sepakat untuk duduk bersama di lantai beralaskan tikar, tidak ada seorangpun yang menduduki sofa yang terlihat empuk di mata.
Jika momen seperti ini adalah yang terakhir, mungkin Amar meminta untuk jangan terburu-buru untuk mengakhiri. Lelahnya hilang ketika mendengar tawa dan melihat wajah yang penuh ceria dari anak Clion, obatnya selama ini.
Tetapi belum waktunya mereka untuk hidup sendiri-sendiri.....
Tuhan masih ingin melihat mereka bahagia di sana, sebelum kembali ke tempat yang abadi....
"Selama gue tinggal, kalian ada yang bertengkar ga nih?" tanya Amar menyilakan posisi duduknya.
"Ya paling bertengkar kecil-kecilan lah," sahut Yoan duduk seorang diri tanpa ada Adenal di sebelahnya, justru Adenal duduk di sebelah Amar.
Entah kenapa, Adenal sangat semangat merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel merek BlackBerry, dan mencoba menekan-nekan tombol di sana, "Bang Mar, sini deh lo liat nih photo."
Amar tersenyum kecil, melihat photo sepasang Adam dan Hawa yang begitu sempurna.
"Gendra sama Jhea udah dekatlah dari kecil, tau sendirilah."
Sontak, semuanya langsung terburu-buru mengerumuni Adenal dan Amar, kecuali Jhea dan Gendra yang kini tengah menahan malu.
Kepala mereka tegak bagaikan telinga tetangga di saat gosip mulai ada, bahkan sosok Bastian yang cuek akan hal apapun ikut melihat siapa yang ada di photo itu.
Semuanya tersenyum mencurigakan, arah pandang mereka menuju kepada Gendra dan Jhea. Apakah saat ini mereka akan melakukan aksinya, tentu saja.
"Cie!"
"Cuhuy, prikitiw!"
"Dunia milik berdua, euy!"
"Perasaan teh lagi hujan ya, tapi kenapa jadi Hareudang."
"HTS tidak usah banyak gaya!"
Berbagai macam sindiran dan ejekan halus memenuhi suasana, tetapi Gendra dan Jhea tidak menganggap hal ini serius, hidup jikalau terlalu serius bisa gila.
Jhea hanya duduk diam dengan muka sok polosnya, sedari tadi hanya sibuk meniup permen karet menjadi balon dan kemudian meletus. Berbeda dengan Gendra, lelaki itu hanya terkekeh malu sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Kayak emak-emak aja, orang dah akrab kok dari kecil, biasa aja kali." celetuk Jhea terus mengunyah permen karet.
Secara tiba-tiba saja, Gendra berkata hal yang mengejutkan, "Lagian Jhea di sana ayu tenan."
KAMU SEDANG MEMBACA
JHEANDRA [On Going]
General FictionTiap manusia, punya warna yang berbeda-beda yang ditorehkan untuk mewarnai dunia fana. Buruk atau Indahnya suatu lukisan tergantung seorang pelukis. Entah warna apa yang akan ia padukan, tetap akan menarik di binar yang tepat. Tak salah bukan, membu...