PROLOG

2.7K 154 7
                                    

Mika dan Hani--yang kini berada di rumah Keluarga Adinata, setelah diminta datang oleh Mila secara langsung usai mendarat di Bandara Soekarno Hatta--menatap ke arah Ziva yang tengah duduk di hadapan mereka sambil memeluk bantal tweety kesayangannya. Tari dan Rasyid ada di ruang tengah rumah itu. Mereka sedang duduk bersama Faris, Mila, Retno, dan Raja untuk membicarakan soal rencana pernikahan Raja dan Ziva yang akan segera digelar dalam waktu dekat.


"Oh ... jadi kamu bersikeras minta pulang duluan untuk menerima lamaran dari Raja?" goda Mika, terang-terangan.

Wajah Ziva semakin memerah saat Mika mulai bersuara. Hani sendiri hanya bisa tertawa tertahan-tahan ketika melihat ekspresi Ziva yang tidak ada bedanya dengan bantal tweety di pelukan wanita itu.

"Kamu jangan bikin Ziva tambah malu dong, Mik. Pengertianlah sedikit. Kamu enggak lihat, wajahnya Ziva sudah mirip sama bantal tweety yang sedang dia peluk saat ini. Cuma bedanya ... muka Ziva enggak berwarna kuning kaya tweety, tapi merah gara-gara malu," tambah Hani, dengan sengaja.

"Ish! Kalian tuh sahabatku apa bukan, sih? Bukannya mencoba menenangkan aku yang lagi kaya cacing kepanasan, malah nambah-nambahin ejekan!" omel Ziva, dengan suara sepelan mungkin.

Mika dan Hani pun tertawa geli dengan kompak, meski tak terlalu terdengar sampai ke dalam rumah. Ziva tambah frustrasi saat melihat tingkah kedua sahabatnya yang semakin menjadi-jadi. Ia sudah frustrasi sejak tadi setelah Raja mengutarakan niatannya ingin menikahi Ziva di depan kedua orangtuanya serta di hadapan Retno. Sekarang dirinya harus bertambah frustrasi karena kedua orangtuanya sengaja memanggil Tari dan Rasyid untuk menjadi saksi acara lamaran yang tidak terduga tersebut. Dan karena Rasyid dan Tari sedang bersama Hani serta Mika ketika menerima telepon dari kedua orangtua Ziva, otomatis Hani dan Mika memutuskan ikut ke rumah Ziva untuk menambah-nambah beban hidup sahabat mereka.

"Raja kesambet deh, kayanya! Bisa-bisanya dia langsung mengutarakan niat mau menikah denganku saat aku lagi serius-seriusnya membicarakan kelakuan asli Rere di depan Tante Retno. Mana Tante Retno ikut mendukung Raja lagi. Aku stress sama tingkah dadakannya Raja," adu Ziva, sambil berguling-guling kanan-kiri di sofa teras belakang rumah.

"Itu namanya bukan kesambet, Ziva Adinata! Itu namanya Raja memang jatuh cinta sama kamu tapi enggak bisa ngomong secara face to face. Makanya saat ada kesempatan dan kebetulan ada Ibunya serta kedua orangtua kamu di hadapannya, dia langsung memutuskan mengutarakan perasaannya ke kamu melalui ajakan nikah. Enggak usah bawa-bawa kesambet. Enggak ada urusannya," sebal Hani.

"Tapi kelakuan dia itu memang random banget, Hani Sayang," sanggah Ziva. "Kamu enggak tahu seberapa randomnya Raja, karena selama dia kerja bersama kita cuma aku yang dekat sama dia. Gimana coba, kalau ternyata dia enggak benar-benar cinta sama aku saat mengutarakan niatan mau nikah sama aku? Terbayang enggak, akan jadi bagaimana hidupku dan hidupnya kalau mendadak dia sadar kalau ternyata niatannya nikah sama aku adalah hasil pemikirannya yang random?"

"Mana mungkin begitu, Ziv?" tanya Raja, yang ternyata sudah ada di belakang sofa tempat Ziva sedang memeluk bantal tweety.

Ziva pun langsung menyembunyikan wajahnya menggunakan bantal tweety saat mendengar suara Raja di belakangnya. Hani dan Mika memang sengaja tidak memberi tahu Ziva saat Raja muncul di teras belakang, agar Ziva bisa mengutarakan unek-unek di dalam hatinya.

"Sudah, jangan sembunyi lagi di balik bantal tweety itu. Kamu akan terlihat semakin mirip sama tweety kalau terus bersembunyi di baliknya," ujar Raja, seraya meraih bantal kesayangan Ziva agar bisa melihat wajahnya wanita itu yang warnanya sudah semerah tomat.

Raja mencoba menahan senyumnya ketika melihat wajah Ziva yang memerah dari arah samping. Ziva berupaya menatap ke arah semua pot bunga milik Ibunya, agar tidak perlu menghadapi Raja dalam keadaan yang tidak pernah ia bayangkan.

"Jangan sok malu-malu kucing deh, Ziv. Kamu itu sadar enggak, kalau selama beberapa hari ini sejak Raja menjadi bagian dari tim kita, kamu dan dia itu lengketnya kaya permen karet? Bahkan Rasyid dan Tari juga sadar akan hal itu. Mereka sering membicarakan kalian berdua sama kami," ujar Mika.

"Sudahlah, Mik! Ayo, kita ke dalam saja. Biarkan mereka berdua bicara di sini. Mereka butuh waktu, bukan butuh sindiran dari mulut beracunmu," ajak Hani, seraya menarik Mika agar bangkit dari sofa secepat mungkin.

Setelah Hani berhasil mengajak Mika pergi, kini hanya ada Raja dan Ziva di teras belakang rumah itu. Ziva masih belum berani menatap ke arah Raja akibat merasa malu.

"Biasanya kita enggak saling diam kalau udah duduk berdua begini. Bahkan saat aku masih meragukan kamu dan memihak pada Gani pun, kita enggak pernah saling diam seperti sekarang," ujar Raja.

"Kakanda Raja ... jangan memancing mulutku untuk mencicit ke arahmu, ya. Aku benar-benar masih stress dengan ajakan nikahmu yang mendadak tadi sore, di depan Ayah Ibuku serta di depan Ibumu," ungkap Ziva.

Raja tersenyum saat mendengar apa yang Ziva ungkapkan.

"Waktu Gani menyatakan perasaan sama kamu, apakah kamu bersikap begini juga? Apakah kamu juga stress?" tanya Raja.

"Kenapa jadi bawa-bawa Gani?" sebal Ziva, yang kini langsung menatap ke arah Raja.

Raja bisa melihat ekspresi tidak suka yang tercetak jelas di wajah Ziva akibat dirinya membawa nama Gani dalam pembicaraan mereka saat itu.

"Gani enggak pernah mengutarakan perasaan sama aku. Dia dan aku punya hubungan sebagai kekasih melalui keputusan yang diambil oleh orangtua kami masing-masing soal perjodohan. Dan kondisiku saat ini sama kamu itu beda jauh dengan kondisiku bersama Gani, Ja. Kamu bicara sendiri tentang keinginanmu menikah denganku di depan orangtua kita. Kamu menyatakan sendiri bahwa aku adalah wanita yang kamu cinta di depan orangtua kita. Dan itu yang membuat aku stress sampai detik ini dan enggak ada hubungannya sama Gani," tegas Ziva.

"Jadi apa yang aku lakukan tadi membuat kamu stress? Kok bisa? Waktu kamu dijodohkan sama Gani ... kamu enggak stress, 'kan? Apakah aku adalah beban pikiran bagi kamu, sehingga kamu merasa stress?"

"Iya, Kakanda Raja. Kamu itu beban pikiran buat aku," jawab Ziva, jujur.

Ekspresi Raja mendadak menjadi datar setelah mendengar jawaban dari Ziva. Namun sebisa mungkin Raja tetap ingin mendengar semuanya sebelum menyimpulkan sesuatu.

"Kamu beda sama Gani, Raja. Bagiku, kamu enggak akan bisa dan enggak pantas jika dibanding-bandingkan dengan dia. Kamu ada di dalam pikiran aku setiap saat, sejak kita mulai dekat. Kamu ada di dalam hidupku dan di sisiku, sejak kita mulai dekat. Kamu ada untukku dan mendengar semua keluh kesahku, disaat aku butuh untuk mencurahkan perasaan. Kamu beda, Ja, dan karena perbedaan itulah akhirnya aku stress sendiri. Kamu sudah ada di dalam pikiranku, sebelum kamu memintaku untuk memikirkanmu," jelas Ziva.

Raja pun segera menggenggam tangan Ziva erat-erat.

"Kalau begitu jangan berhenti memikirkan aku, Ziv. Please, jadikan aku beban pikiranmu seumur hidup dan izinkan aku untuk enggak cuma berada di dalam pikiranmu, tapi juga di dalam kehidupanmu," pinta Raja, tidak main-main.

* * *

TELUH BELINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang