11 | Mengambil Keputusan Cepat

1.2K 120 9
                                    

Mila dan Faris baru saja tiba di rumah siang itu, setelah mengurus undangan pernikahan Ziva dan Raja yang akan dibagikan besok. Faris bekerja sama dengan Gino dan Ahmad untuk menurunkan beberapa kardus berisi undangan yang sudah selesai dicetak.


"Terima kasih Pak Gino ... Pak Ahmad ... nanti kalau ada yang dibutuhkan lagi, kalian akan dihubungi," ujar Faris, saat semua kardus sudah selesai diturunkan dari bagasi.

"Sama-sama, Tuan. Kami akan kembali ke pos sambil menunggu perintah lain," jawab Ahmad, mewakili Gino.

Faris masuk ke dalam rumah tak lama kemudian, sementara Mila tampak mulai memeriksa hasil cetak undangan. Senyum bahagia terus menghiasi wajah Mila saat menatap undangan yang sudah tertulis nama Ziva dan Raja di dalamnya. Faris ikut merasa bahagia saat melihat hal tersebut, sehingga membuatnya segera mendekat ke arah sofa.

"Istriku yang cantik tampaknya sangat bahagia sekali. Ada apa, sih?" goda Faris.

"Ibu sedang merasa bahagia karena akhirnya bisa memegang undangan yang di dalamnya ada nama Putri kesayangan kita serta nama calon menantu kita, Yah. Rasanya, Ibu benar-benar seperti bermimpi saat Ziva benar-benar dilamar secara langsung oleh Raja dan Ibunya, semalam. Ibu pikir Raja akan meminta waktu setelah melamar agar bisa mengenal Ziva lebih dekat lagi. Tapi nyatanya Raja justru meminta dinikahkan dengan Ziva secepatnya. Dia tidak ingin menunda-nunda, karena tidak ingin ada hal yang membuat rencananya menikahi Ziva menjadi terhambat. Ibu benar-benar bahagia karena akhirnya ada pria yang benar-benar serius ingin menjalani hidup dengan Putri kita, Yah," jawab Mila, apa adanya.

Faris kini memeluk Mila dari arah samping dengan penuh cinta. Ia jelas juga merasakan bahagia yang sama seperti yang dirasakan oleh istrinya saat itu. Ketika sedang mengamati undangan pernikahan Ziva dan Raja, kedua mata Faris terarah ke lampu kecil pada telepon rumah yang tampak terus berkedip-kedip, menandakan ada pesan suara yang masuk ke sana hari itu. Faris pun segera beranjak menuju telepon rumah, lalu menekan tombol loudspeaker agar pesan suara yang masuk bisa didengar juga oleh Mila.

BEEP!

"Halo, Pak Faris atau Bu Mila. Ini dari Ambar Bareksa. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan dengan kalian berdua. Bisakah kalian angkat teleponnya jika sudah ada waktu luang?"

BEEP!

"Halo, Pak Faris dan Bu Mila. Ini dari Ambar Bareksa lagi. Kalau Pak Faris dan Bu Mila ada waktu, aku harap kita bisa bicara dan bertemu secara langsung. Ini terkait dengan Vano. Aku berencana ingin menjodohkan Vano dengan Ziva. Setelah Vano tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Rere, sekarang Vano baru menyadari bahwa saranku kepadanya dulu untuk menjodohkannya dengan Ziva bukanlah saran yang salah. Vano ingin mencoba mengenal Ziva lebih dekat. Maka dari itu, sebaiknya kita bertemu di mana dan kapan? Hubungi aku kembali jika kalian sudah ada waktu."

BEEP!

"Pak Faris atau Bu Mila, akhirnya aku memutuskan untuk datang ke rumah kalian besok setelah berunding dengan Papanya Vano. Kami akan datang besok pagi, sekitar jam sepuluh. Bisa kalian pastikan Ziva ada di rumah besok? Vano mungkin ingin bertemu langsung dengan Ziva, jadi sebaiknya Ziva dilarang pergi kerja dulu untuk satu hari."

Setelah mendengar semua pesan suara yang masuk dari Ambar, Faris dan Mila pun langsung saling menatap satu sama lain dengan wajah yang tegang.

"Mari kita tinggalkan rumah, Bu. Mari kita menetap di villa sampai hari pernikahan Ziva dan Raja benar-benar berlangsung. Kita harus mencegah adanya hal-hal yang tidak diinginkan," ajak Faris, tidak banyak pertimbangan.

* * *

Gani dengan gelisah menatap tak percaya ke arah ponselnya. Ia tengah membuka status WhatsApp milik Mika setelah selesai mengurus Arlita yang masih terbaring lemah di atas tempat tidur. Hatinya terasa panas ketika tahu bahwa Ziva akhirnya benar-benar akan menikah dengan Raja, seperti yang ia takutkan saat melihat kedekatan mereka di rumah Keluarga Hardiman. Ia ingin sekali kembali bersikap histeris seperti sebelum-sebelumnya, namun ia takut pada konsekuensi yang akan diterima dari Tomi jika sampai dirinya kembali menyebut-nyebut nama Ziva dan Raja.

"Kurang ajar kamu, Ja! Kurang ajar! Baraninya kamu menikung aku dari belakang! Beraninya kamu merebut wanita yang seharusnya menjadi milikku!" geram Gani, setengah mendesis.

Setelah nomornya diblokir oleh Raja dan Ziva, ia benar-benar tidak bisa mendapat kabar apa pun tentang kedua orang itu secara langsung. Satu-satunya jalan yang bisa Gani dapatkan untuk mendapat kabar mengenai Ziva dan Raja adalah melalui Mika yang tidak pernah peduli status WhatsApp-nya dilihat oleh siapa saja. Mika adalah salah satu anak-anak orang kaya yang tergabung dalam komunitas para orangtua. Namun Mika memilih jalan untuk tidak bergabung dengan anak-anak orang kaya lainnya dan justru memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh Ziva dan Rasyid. Mereka benar-benar cocok sehingga memutuskan bersahabat sejak berada di bangku SMA hingga saat ini.

Gani menjambak rambutnya sendiri saat melihat betapa cantiknya Ziva ketika sedang mencoba pakaian pengantin bersama Raja. Mereka tampak begitu bahagia dan Gani benar-benar tidak bisa menerima hal itu.

"Kenapa, Ziv? Kenapa kamu justru memilih membuka hatimu kepada Raja setelah putus denganku? Kenapa kamu benar-benar tidak mau memberiku kesempatan kedua, Ziv? Kenapa posisiku harus digantikan oleh Raja?" tanya Gani, seraya terus menatap foto Ziva dan Raja.

Gani tampak seperti orang yang kehilangan arah sekarang. Di dalam dadanya penuh dengan penyesalan yang tidak bisa digantikan dengan apa pun. Ia menyesal karena telah menyakiti Ziva, baik itu secara fisik ataupun batin. Ia menyesal karena mendengarkan hasutan Rere yang ternyata hanya menginginkan kehidupan milik Ziva. Ia menyesal berselingkuh. Ia menyesali semua yang seharusnya tidak ia lakukan terhadap Ziva.

Tangan Gani kini meraba layar ponselnya tepat pada bagian wajah Ziva yang tampak begitu cerah dengan senyumnya yang menawan.

"Kamu dulu tidak pernah tersenyum sebahagia itu saat denganku, Ziv. Kamu hanya selalu memasang wajah datar dan tenang. Beberapa kali kamu hanya tersenyum singkat untuk menanggapi apa yang aku tunjukkan padamu. Tapi kenapa saat bersama Raja, kamu justru bisa tersenyum lepas dan bahagia seperti itu? Apakah saat bersama denganku dan menjadi kekasihku kamu tidak merasa bahagia sama sekali, Ziv? Apakah kamu merasa bahwa Raja jauh lebih bisa membuatmu bahagia daripada aku? Apa benar begitu, Ziva?"

Gani berupaya menahan semua kesakitan dan sesalnya dalam diam. Hanya wajahnya saja yang memerah akibat emosi yang sulit untuk diredam. Dalam diamnya kali itu, Gani sedang menyusun rencana untuk merebut Ziva kembali agar bisa menjadi miliknya lagi.

"Tidak akan kubiarkan," gumam Gani, dengan suara gemetar. "Ziva hanya akan menjadi milikku. Raja tidak boleh memilikinya. Aku yang akan bersanding dengan Ziva dan menjadi pendamping hidup wanita itu untuk selamanya. Bukan Raja yang akan menempati posisi itu. Bukan!"

* * *

TELUH BELINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang