Rasyid dan Hani kembali menghadapi Rian setelah mengurus Faisal serta meminta Mika dan Tari mengawasinya, agar laki-laki itu tidak mendekat lagi kepada Ziva dan Raja. Rian kembali mempersilakan mereka berdua duduk di sofa yang ada dalam ruang kerjanya. Batagor tampak berputar-putar pada kaki Rasyid, setelah pria itu duduk di sofa.
"Maafkan kami soal keributan tadi, Pak Rian. Kami merasa sangat tidak enak karena harus terjadi insiden seperti barusan," ujar Rasyid, tampak sangat menyesal dengan hal yang terjadi."Tidak apa-apa, Mas Rasyid. Aku paham bahwa hal seperti tadi bisa terjadi, terutama jika seorang laki-laki mencoba mengganggu hubungan yang terjalin di antara dua orang yang telah menuju ke jenjang lebih serius. Aku tadi sedikit mendengarkan apa duduk masalahnya, jadi aku jelas paham tentang amarah salah satu anggota tim anda yang mendadak meledak terhadap Polisi tadi," tanggap Rian, cukup positif.
"Kalau begitu, mari kita lanjutkan pembicaraan yang tadi Pak Rian. Info sekecil apa pun akan sangat membantu bagi kami untuk mencoba mematahkan teluh yang dikirim kepada karyawan dan karyawati Bapak," saran Rasyid.
"Ya, tentu. Silakan tanyakan lagi. Aku akan berupaya memberi jawaban jika sekiranya aku tahu jawabannya."
Rasyid dan Hani kembali membuka buku catatan mereka untuk mencatat jawaban yang akan Rian berikan.
"Tadi Pak Rian sudah menjawab pertanyaan kami soal apakah Bapak memiliki musuh di lingkungan rumah yang mungkin iri dengan pencapaian yang Bapak dapatkan, dan jawaban Bapak adalah tidak ada, karena Bapak tinggal di rumah yang jauh dari kehidupan sosial masyarakat pada umumnya. Sekarang, kami akan mengajukan pertanyaan lain. Apakah Pak Rian memiliki musuh di lingkungan kantor, yang berhubungan dengan bidang pekerjaan Bapak saat ini?" tanya Hani. "Mungkin sekiranya musuh itu adalah seseorang yang tidak suka kalau Bapak lebih sukses ketimbang dirinya atau tidak suka kalau Bapak selalu unggul dalam mendapatkan proyek atau kerja sama dengan perusahaan lain."
Hani memberikan beberapa kemungkinan kepada Rian. Rian kini tampak memikirkan beberapa kemungkinan tersebut dan tampak mencoba memilah siapa-siapa saja yang terindikasi memusuhinya.
"Kalau di lingkungan pekerjaan yang aku jalani ini, sudah tentu banyak sekali yang tidak suka dengan lancarnya jalinan kerja sama antara perusahaan milikku dengan perusahaan-perusahaan ternama yang memiliki proyek besar. Namun aku juga yakin, bahwa bukan hanya aku saja yang tidak disukai dalam bidang pekerjaan ini. Banyak juga beberapa perusahaan lain yang memenangkan tender, mendapat proyek yang bernilai fantastis, dan bahkan ada juga yang kesuksesannya melebihi kesuksesan perusahaanku. Jadi kalau ditanya soal apakah aku memiliki musuh di lingkungan kantor, jawabannya adalah kemungkinan memang ada tapi aku tidak bisa asal tebak atau asal curiga terhadap seseorang," tutur Rian.
Hani dan Rasyid tampak mencatat jawaban yang baru saja Rian berikan ke dalam buku catatan mereka masing-masing.
"Bagaimana dengan kehidupan rumah tangga? Apakah Bapak sudah memiliki Istri, lalu ada seseorang yang berusaha mendekati Bapak secara agresif dan Bapak menolaknya?" tanya Rasyid.
Rian pun mendadak tertawa pelan saat mendapat pertanyaan seperti itu dari Rasyid. Rasyid dan Hani mendadak bingung dengan reaksi yang Rian berikan saat itu.
"Uhm ... kalau soal yang mendekati aku memang ada dan jumlahnya tidak sedikit. Untuk yang mendekati secara agresif, ada beberapa orang yang bisa aku tuliskan namanya. Memang semuanya aku tolak, tapi alasanku menolak mereka yang mendekatiku bukan karena aku sudah punya Istri. Aku masih lajang dan belum menemukan yang menurutku pas untuk dijadikan pendamping hidup. Kebanyakan wanita yang mendekat padaku adalah kumpulan para pengincar. Mereka hanya melihat apa yang aku hasilkan, bukan benar-benar ingin menjadi pendamping hidupku. Maka dari itulah sampai saat ini aku masih hidup sendiri," jelas Rian, jujur apa adanya.
Hani dan Rasyid kembali mencatat jawaban yang diberikan oleh Rian. Rian tampak ingin sekali melihat reaksi Hani setelah dirinya memberikan jawaban barusan. Namun sayang, Hani tampaknya biasa-biasa saja dan tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
"Boleh Bapak tuliskan nama-nama wanita yang mendekat secara agresif itu? Kami akan mencoba mencari tahu soal kemungkinan, apakah ada di antara mereka yang berpotensi merasa marah atas penolakan dari Bapak sehingga mengirimkan teluh," pinta Hani, seraya menyodorkan buku catatannya ke hadapan Rian.
Rian segera mengambil buku tersebut dan mulai mencatat beberapa nama di sana.
"Sementara waktu, Pak Rian sebaiknya tetap berada di dalam gedung kantor ini. Akan lebih baik lagi jika Bapak berdiam saja di balkon dalam lantai dua, agar semua karyawan bisa melihat keberadaan Bapak dan tidak merasa kalau Bapak melarikan diri dari masalah," saran Rasyid.
"Iya, tentu aku akan lakukan yang Mas Rasyid sarankan. Oh ya, boleh aku meminta nomor telepon kalian berdua? Agar aku mudah menghubungi kalian jika terjadi sesuatu atau ketika aku teringat sesuatu yang belum aku sampaikan," pinta Rian, seraya menyerahkan buku catatan milik Hani ke tangan pemiliknya.
"Tentu saja boleh, Pak Rian," tanggap Rasyid.
Rasyid pun segera menuliskan nomor ponselnya dan nomor ponsel Hani pada selembar kertas. Setelah selesai, kertas itu ia berikan kepada Rian agar pria itu bisa menyalinnya ke ponsel. Rian benar-benar segera melakukan hal itu, lalu mereka bertiga sama-sama keluar dari ruangan tersebut untuk melihat keadaan para karyawan di luar.
"Aku akan kirim pesan pertama, agar kalian bisa menyimpan nomorku di ponsel kalian," ujar Rian.
"Iya, Pak Rian. Kami akan segera menyimpan nomor Bapak pada ponsel kami masing-masing," tanggap Hani.
Rian pun tersenyum diam-diam saat mendengar tanggapan tersebut. Entah mengapa ia senang dengan tanggapan singkat tersebut dan juga sikap Hani yang sama sekali tidak berusaha mencari perhatian seperti wanita lain yang pernah berhadapan dengan Rian. Mereka tiba di aula kantor tersebut, bertepatan dengan munculnya Ziva dan Raja dari lorong kantor yang lain.
"Kami belum berhasil menemukan makhluk itu lagi. Dia tampaknya bersembunyi karena tahu kalau aku langsung mengincar keberadaannya sejak awal," ujar Ziva.
"Kalau begitu mari kita jalankan saja seperti biasanya, Ziv. Perlahan saja, yang penting kita bisa mencapai titik di mana makhluk itu akan menuntun kita pada orang yang telah mengirimkan teluh ke kantor ini," saran Hani.
"Ya, kamu jelas benar soal itu, Hani Sayang. Mari kita mulai seperti biasanya dan biarkan makhluk itu mendatangi kita dengan sendirinya. Sebaiknya aku memang menantang makhluk itu agar dia segera menunjukkan wujudnya," Ziva setuju dengan saran dari Hani.
Tari datang mendekat dengan wajah yang terlihat cukup khawatir.
"Semua korban masih memuntahkan darah dari mulut mereka. Tapi kali ini bukan hanya darah yang mereka muntahkan, tetapi juga pecahan-pecahan beling berukuran sedang dan kecil," jelas Tari.
Rian hanya bisa mengerenyitkan keningnya saat mendengar penjelasan dari Tari.
"Hm ... teluh yang dikirim adalah teluh beling. Itulah mengapa makhluk itu senang sekali berada di dekat benda yang terbuat dari kaca," Ziva memberi kesimpulan.
Hani pun segera menoleh ke arah Rian.
"Ayo, Pak Rian. Sebaiknya Bapak segera naik ke balkon lantai dua itu. Aku akan mendampingi Bapak sampai semua tugas kami selesai," sarannya.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
TELUH BELING
Horror[COMPLETED] Seri Cerita TELUH Bagian 3 Raja benar-benar melamar Ziva di hadapan kedua orangtuanya dan menyatakan keseriusannya ingin menikah. Hal itu tentu saja menjadi hal paling membahagiakan bagi semua orang, termasuk seluruh anggota tim tempat R...