7 | Amarah Ziva

1.2K 138 5
                                    

"Itu benar, Pak Faisal. Sebaiknya Bapak tidak perlu lagi sering-sering mengungkapkan soal bagaimana perasaan kagum Bapak terhadap Ziva, karena hal itu akan menimbulkan salah paham," tambah Tari, setuju dengan apa yang Mika utarakan dengan jujur kepada Faisal.


Faisal pun kini mulai berusaha tersenyum, agar tetap terlihat wajar dimata Mika ataupun Tari.

"Wah ... ternyata aku sudah terlambat, ya? Aku sudah keduluan oleh orang lain tanpa aku ketahui. Padahal selama ini aku berusaha menghubungi Ziva, tapi Ziva sama sekali tidak merespon apa-apa. Sekarang, mendadak dia sudah punya calon Suami dan calon Suaminya adalah seseorang yang bekerja di dalam timnya sendiri. Pria itu anggota baru kalian, 'kan?" tanya Faisal.

"Ya, Bapak benar. Pria bernama Raja itu adalah anggota baru kami. Dia baru lima hari bekerja bersama kami," jawab Tari, apa adanya.

"Lima hari? Dia baru lima hari bekerja dalam tim kalian tapi sudah berhasil mencuri hati Ziva? Wah ... bukankah itu sedikit mencurigakan?" pikir Faisal, yang kemudian melangkah menjauh dari Tari dan Mika.

Tari dan Mika kini kembali saling menatap satu sama lain sambil menunjukkan ekspresi penuh kebingungan.

"Kamu paham dengan maksud ucapan Pak Faisal barusan?" tanya Mika.

Tari pun menggelengkan kepalanya.

"Aku sama sekali enggak paham, Mik. Sudahlah, ayo kita coba wawancarai saja para korban yang sakit. Tampaknya mereka sudah selesai diperiksa oleh tim medis," ajak Tari, tak mau memusingkan hal yang membuatnya bingung.

Setelah menjauh dari Tari dan Mika, Faisal memutuskan untuk mendekat pada Ziva dan Raja yang kini sedang berjalan menuju salah satu lorong di kantor tersebut.

"Kalian berdua mau ke mana?" tanya Faisal, berusaha terdengar sewajar mungkin.

"Oh, kami akan mengikuti jejak makhluk yang tadi terlihat di kaca depan kantor saat baru akan masuk ke sini, Pak," jawab Raja.

Ziva diam saja dan lebih memilih fokus saat menatap jejak-jejak makhluk tak berkulit tadi. Faisal merasa kesal karena Ziva sama sekali tidak pernah menanggapinya sejak awal mereka saling kenal. Wanita itu selalu saja bersikap datar dan dingin kepadanya. Tidak pernah berubah.

"Kamu apa kabar, Ziv? Aku selalu berusaha menghubungi kamu. Tapi kamu tidak pernah membalas pesan atau mengangkat teleponku," ujar Faisal dengan sengaja, agar Raja bisa mendengarnya.

Raja melirik ke arah Ziva setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Faisal. Ia ingin tahu apakah ekspresi Ziva berubah atau tidak. Jika ekspresi Ziva berubah, maka tandanya Ziva menyembunyikan sesuatu dari dirinya terkait dengan Faisal. Sayangnya, Raja sama sekali tidak melihat adanya perubahan pada wajah Ziva saat itu. Ziva benar-benar fokus menatap ke arah jejak-jejak yang tertinggal dari makhluk yang mereka lihat tadi.

"Jejaknya mengarah ke sana. Ayo, kita harus segera menemukannya," ajak Ziva kepada Raja, seraya menggenggam tangan pria itu dengan erat.

Faisal bertambah geram saat melihat bagaimana Ziva memperlakukan Raja dengan sangat istimewa. Ia jelas merasa cemburu karena hal itu, namun ia juga tidak punya hak untuk melarang. Ia kini hanya bisa mengikuti langkah Ziva dan Raja dari belakang sambil menahan-nahan rasa geramnya.

"Kamu anggota tim baru, 'kan?" tanya Faisal, sambil menatap ke arah Raja.

"Iya, Pak. Aku anggota tim baru di dalam tim kami," jawab Raja, seadanya.

"Kata Tari kamu baru lima hari bergabung di dalam tim. Kok bisa, kamu langsung menjadi calon Suaminya Ziva hanya dalam kurun waktu lima hari? Aku saja yang sudah bertahun-tahun berusaha mendekati Ziva tidak pernah berhasil membuat dia luluh. Kamu pakai pelet apa terhadap Ziva?"

Ziva langsung menghentikan langkahnya saat mendengar tuduhan jahat Faisal kepada Raja. Raja saat itu merasa kaget sehingga hanya bisa diam sambil menjernihkan pikiran. Sebenarnya ia merasa kaget karena Ziva berhenti secara mendadak, bukan kaget karena mendengar tuduhan yang Faisal layangkan. Ziva saat itu langsung berbalik dan menatap Faisal dengan penuh amarah. Genggaman tangannya terlepas dari tangan Raja secara tiba-tiba. Wanita itu berjalan mendekat ke arah Faisal sambil melayangkan tatapan tajamnya.

"Apa anda bilang??? Apa yang anda bilang barusan, hah??? Coba ulang lagi kalau berani!!!" teriak Ziva.

Rasyid dan Hani mendengar dengan jelas suara teriakan Ziva saat itu. Mereka berdua berada pada salah satu ruangan di dekat lorong kantor tersebut, sehingga suara Ziva bisa terdengar jelas.

"Dengar baik-baik, Pak Faisal!!! Nomor yang anda hubungi selama ini bukanlah nomor teleponku!!! Itu adalah nomor telepon Hani, rekan kerjaku!!! Aku memang tidak pernah mau memberikan nomor teleponku pada orang yang menurutku tidak penting!!! Anda berurusan dengan tim kami, karena anda butuh bantuan!!! Bukan karena anda memiliki suatu hubungan denganku!!! Jadi sebaiknya anda segera pergi dari hadapanku dan calon Suamiku sekarang juga, atau anda akan tahu bagaimana rasanya aku permalukan di depan seluruh anggota kepolisian yang anda pimpin!!!" ancam Ziva.

Raja berusaha membuat Ziva mundur. Rasyid dan Hani tiba di sana lalu segera melerai Faisal dan Ziva tepat di tengah-tengah.

"Ada apa, ini? Kenapa kamu mendadak marah besar pada Pak Faisal, Ziv?" tanya Hani.

"Kami sedang bekerja, lalu dia mendadak mengganggu aku dan Raja, Han. Dia menuduh Raja menggunakan pelet untuk memikat aku, hanya karena aku tidak pernah menanggapi usahanya saat mendekati aku. Aku sakit hati, Han. Aku sayang sama Raja dan aku tidak bisa terima Raja dituduh begitu oleh dia," jelas Ziva, tegas.

Rasyid pun langsung melayangkan tatapan penuh amarah kepada Faisal. Ia segera memberi kode tanpa suara pada Faisal untuk mengambil jalan lain, agar bisa menjauh dari Ziva dan Raja.

"Oke, kamu tenangkan dirimu sekarang. Biar aku dan Rasyid yang urus mengenai persoalan Pak Faisal. Kamu fokus saja bersama Raja pada tugas kalian. Jangan terlalu stress, agar kamu bisa mengendalikan emosimu," saran Hani, sambil memeluk Ziva dengan lembut.

Ziva pun mengangguk, lalu Hani pun segera memberi tanda pada Raja untuk membawa Ziva pergi dari lorong itu. Raja kembali menggenggam tangan Ziva dengan erat seperti tadi.

"Kamu masih marah?" tanya Raja.

Ziva pun mengangguk.

"Kamu kesal sekali saat dia menuduhku begitu?"

Lagi-lagi Ziva kembali mengangguk.

"Kamu marah karena sayang sama aku? Aku tadi dengar ...."

"Iya," potong Ziva dengan cepat, seraya menahan langkah Raja.

Kini mereka berdua berdiri di dekat jendela yang mengarah langsung ke arah bagian luar kantor tersebut.

"Aku marah besar saat dia menuduhmu begitu, karena aku sayang sama kamu. Kamu mendapatkan hatiku bukan karena keberuntungan, Ja. Kamu mendapatkan hatiku karena kamu berusaha untuk mendapatkannya. Bukan karena kamu melakukan hal yang buruk seperti memberikan pelet. Jadi aku jelas berhak marah sama orang itu, saat dia menuduhmu dengan sangat kurang ajar seperti tadi. Aku enggak bisa terima, Ja. Aku enggak bisa terima sama sekali," jelas Ziva, membuat Raja merasa sangat berarti untuk pertama kalinya.

* * *

TELUH BELINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang