Kak Johan datang padaku besoknya. Ia membawakanku bunga mawar merah muda. Warna favoritku. Ia menanyai kondisiku mengapa aku melukai diriku sendiri. Sejujurnya ini agak berlebihan aku hanya menusukkan jariku dengan jarum tapi seolah aku melakukan tindakan pelukaan diri yang besar.
Aku hanya tersenyum getir menerima bunga tersebut dan kini ia menanyaiku hal yang menjadi bahasan Yang Mulia Ratu kemarin denganku.
"Hadiah apa yang kau inginkan? Adikku."
Aku tentu saja menggeleng. Tidak ada hal yang kuinginkan lagi di dunia ini. Selain aku dapat hidup dengan baik dan semuanya damai seperti ini.
"Kau tidak butuh apapun? Kakakmu ini tentunya akan rela pergi ke manapun untuk memberikan hadiah pada satu-satunya adik perempuannya."
Aku hanya tersenyum lagi, andai kak Johan tahu apa yang paling kuinginkan. Namun, begitu aku melihat tanda burung di telapak tanganku ini--aku tahu tidak semua orang bisa melihat ini, contohnya saja dokter dan Yang Mulia Ratu kemarin tidak menyadari tanda ini--,aku jadi yakin dengan sesuatu.
"Kalau aku meminta perjanjian sihir, apa kak Johan bisa mengabulkannya?"
Kak Johan sedikit terdiam dengan permintaanku.
"Kau tahu kan, aku tidak memiliki bakat mana sedikit pun."
Aku mengangguk dan hanya dapat menghela napas.
"Tapi aku pernah mendengar gulungan yang bisa membuat perjanjian, meski tentu saja ada karmanya bila salah satu dari pelaku perjanjian tidak memiliki mana."
Aku tahu mengenai demikian. Suatu hal yang berkaitan dengan sihir memang memiliki nilai karma, karena akar dari sihir adalah kekuatan gelap yang berasal dari raja Iblis. Namun, pengguna sihir belum tentu antek-anteknya karena percabangan sihir sudah cukup jauh. Berbeda dengan kekuatan suci dengan kekudusannya--yang mana lingkupnya lebih kecil penggunaannya tetapi itu yang membuatnya murni.
Aku memiliki mana sihir dari jalur Ibuku. Meski tidak cukup kuat untuk sekadar menyihir sesuatu setidaknya kalau untuk perjanjian sihir aku bisa menerima karmanya.
"Ya, Aku tahu itu kak. Tapi, bagaimana cara mendapatkannya?"
"Untuk mendapatkannya itu mudah saja. Percayakan pada kakakmu ini. Tapi yang aku pertanyakan. Kau menginginkan apa dari kakakmu ini? Atau dari kerajaan ini, sampai kau menyakiti dirimu sendiri seperti itu?"
Andai menangis itu mudah, dapat menceritakan masalahku atau andai aku dapat kembali mengulang waktu dengan manis. Aku rasa aku tidak akan menyakiti diriku sampai seperti ini.
Aku menggeleng dan memeluk kakakku dengan erat. "Aku tidak bisa menceritakannya, kak Johan. Selama aku tidak menyakiti diriku bukankah itu cukup, bukan?"
Meski aku berkata demikian. Nyatanya aku tidak melakukan apa yang kukatakan.
Besoknya, kak Johan pergi keluar kerajaan. Mungkin ke menara penyihir untuk bertemu dengan Kael atau entah bagaimana. Hanya saja, di waktu itu aku menggunakan kesempatan itu untuk mencoba yang terakhir kalinya.
Seperti yang kupahami ketika mataku terolesi bawang yang harusnya merah dan berair. Itu tidak merah atau berair yang berarti kutukan yang diberikan kepadaku memiliki sihir penyembuhan serta mencegah untuk mengeluarkan air mata.
Namun, apakah itu bisa menyembukan sesuatu yang terlukai dengan sihir? Sihir melawan sihir.
Aku memaksa pelayanku--pelayan lain yang kuketahui tidak memiliki konektivitas dengan yang mulia ratu--membeli beberapa barang mencurigakan di pelelangan. Ia tidak memiliki bakat sihir. Namun, aku punya. Aku bisa mengenali sesuatu yang memiliki sihir, meski tidak bisa sihir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Cry, Wilhelmina
Fantasy"Adikku yang manis. Jangan menangis. Aku tahu ini berat, maka kuhadiahi setiap tangisanmu selanjutnya menjadi hari bahagiamu!" Kakaknya tersenyum dan mengusap air matanya. Wilhelmina Aabye hanya seorang puteri kerajaan biasa yang kerajaannya sedang...