Prolog
Lena terbangun dari tidurnya dengan tidak nyaman, matanya terarah ke arah Katya—kakaknya yang masih tertidur nyenyak dengan nyaman di tempat tidurnya. Sama sekali tidak terganggu dengan kenyataan bahwa kini adiknya tidur sekamar dengannya.
Kamar Lena yang terletak di lantai dua rumah ini, baru-baru ini mengalami bencana tidak terduga. Langit-langitnya yang beberapa minggu ini selalu bocor sewaktu hujan akhirnya roboh juga—seperti yang bundanya selalu prediksikan hampir di setiap waktu hujan. Jelas Lena gak bisa balik ke kamar itu dan akhirnya—dengan sangat enggan—Katya menerima satu buah lagi ranjang single bed dipindahkan ke kamarnya.
Hari pertamanya pindah, Lena merasa amat sangat tertekan. Dia gak kuat dingin, tapi Katya yang memang berhati es membiarkan pendingin udara dalam suhu dua puluh satu derajat sementara Lena akhirnya harusnya membungkus dirinya rapat-rapat menggunakan selimut. Tapi kali ini jelas dia gak bisa menahannya lagi, ingusnya sudah hampir keluar dan Lena akhirnya mengusapnya dengan baju piyama yang sedang digunakannya lalu memutuskan untuk keluar dari kamar.
Lebih baik tidur di sofa daripada di sini! Lena bisa saja keluar dari kamar sambil membawa sekalian selimutnya, tapi toh belum juga dia mulai melaksanakan niatnya, langkahnya terhenti ketika mendengar suara bundanya yang terlihat sedang bicara dengan ayah.
"Yah, mau gimana lagi.... " Terdengar suara helaan napas lelah bunda yang Lena lihat sedang memegangi kepalanya sambil memejamkan mata, terlihat sangat kelelahan dan tertekan.
"Kita tetap bisa jadi orangtua yang baik buat mereka walaupun harus tinggal terpisah dulu," kata ayahnya, terdengar lebih tenang namun memberi efek yang berbeda bagi Lena.
Dengan terburu-buru, Lena membangunkan Katya—yang tentunya membuat gadis itu kesal setengah mati dan hampir melempar Lena dengan laptop mahal yang dibiarkan tergeletak di meja belajarnya, kalau saja dia tidak ingat betapa banyaknya data tugas-tugas dia di sana.
"Bunda sama ayah lagi ngomong serius di luar," bisik Lena dengan nada panik, jantungnya berdegup dengan kencang karena kalimat sederhana yang didengarnya begitu bangun tidur barusan.
Katya berdecak, tapi tetap bangkit dari posisinya juga sambil memberi tatapan mengancam ke arah Lena seperti berkata, 'kalau ternyata gak penting, lo gue buang ke pohon mangga di luar' dan mulai mendekatkan telinganya ke pintu kamarnya.
"Katya ikut aku, kamu bawa Lena." Terdengar suara ayahnya yang kini sukses membuat Katya bangun sepenuhnya dari rasa kantuk sebelumnya. Lena langsung membalas tatapannya seolah berkata, 'udah gue bilang kan!'
Keduanya memutuskan untuk diam sambil terus berusaha untuk menguping. Pembicaraan menjadi semakin serius, dan ketegangan di dalam kamar membuat badan Lena yang sudah kedinginan jadi semakin menggigil.
"Seminggu sekali, kita bisa ketemu, sekalian sama Katya dan Lena juga. Tapi akhir-akhir ini Katya lebih suka main sama temannya pas weekend sih ya. Kalau udah dipisahin sama adeknya, masih begitu gak ya?" Kali ini bunda yang bicara, nadanya terdengar ganjil, namun masih ada senyuman di sana. Sementara ayah mengusap lengan polos bunda dengan hangat. "Untuk saat ini, emang itu aja yang bisa kita lakuin, 'kan?"
"Aku akan berusaha buat nemuin Lena sesering mungkin," janji ayah menenangkan.
Bunda tersenyum kecil. "Aku juga... bakal usahain ketemu Katya sesering mungkin. Dan kamu juga harus... tahu kan? Kontrol gula darahnya Katya—"
"I know, don't worry. Lagian selama ini juga dia lumayan mandiri soal itu, dan kondisinya juga mulai membaik.... "
"Tetap aja gak boleh berhenti kontrol!" seru bunda agak kesal. "Hah, pokoknya... yah, kita tidur aja dulu sekarang. Besok masih harus bangun pagi-pagi karena anak-anak masih sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Katya & Lena's Secret Mission [COMPLETED]
General FictionKatya dan Lena emang gak akur, tapi kehidupan mereka baik-baik saja, keduanya tumbuh besar melihat kedua orangtua mereka saling mencintai. Namun suatu hari, hal tidak terduga terjadi. Lena terbangun di tengah malam dan mendengar rencana perceraian k...