08 | Kecelakaan : Berkah?!
Ayah duduk di sofa yang terletak di kamar rawat Katya, terlihat kelelahan setelah pulang dari kantor dan harus mengurus putrinya yang kecelakaan. Mulai dari membawa motor milik temannya Katya ke bengkel hingga merawat Katya yang kakinya terluka.
"Ada yang sakit?" Katya menggelengkan kepalanya, matanya menatap ke arah langit-langit. Terdengar suara helaan napas lega dari sisi kanan telinganya, tempat ayah duduk. "Sebentar lagi bunda kamu sama Lena bakal ke sini—"
"Eh, kenapa mereka datangnya gak besok aja? Sekarang kan udah malam, besok Lena sekolah kan?" Kepala Katya langsung bergerak, menatap ayahnya dengan khawatir. Kemungkinan bunda datang lalu menghajarnya adalah 100000% alias kalau benar... itu gak terhindarkan sama sekali.
Ayah mengangkat bahunya. "Tadi ayah panik sendirian, jadi nelpon bunda kamu dan sekarang mereka udah di jalan mau ke sini. Mau dibatalin juga gak bisa, bunda kamu pasti paling enggak harus lihat kamu dulu dan memastikan kamu gak apa-apa baru bisa tidur nyenyak, dan... tahu sendiri kan bunda kamu? Mana mau dia ninggalin Lena sendirian di rumah malam-malam lagi," jawab ayah santai. "Kenapa? Takut dimarahin?"
Katya nyengir. "Kalau gitu aku tidur aja, biar gak dimarahin," ujar Katya lagi sambil buru-buru menutup matanya ketika suara pintu kamarnya terbuka dan terdengar suara keras bundanya yang sudah siap mengamuk itu.
"Gimana? Parah gak lukanya?" Gak terdengar suara Lena sama sekali di sana, hanya bunda yang langkah kakinya terdengar menghampiri sisi sebelah kanan, mendekati ayah.
"Cuman jatoh dari motor biasa aja, lukanya gak parah," kata ayah menenangkan—tapi mungkin di telinga bunda justru terdengar meremehkan.
"CUMAN!" teriak bunda gak sabar, hingga Katya berjengit kaget dalam tidurnya, baru kemudian terdengar suara Lena di sana, "Bun, jangan kencang-kencang, nanti Katya kebangun." Katya merasakan tatapan bunda yang kini terarah ke arahnya.
Katya gak tahu apa yang terjadi berikutnya, tidak ada suara yang terdengar—bahkan bisikan sekalipun—tapi langkah kaki bunda terlihat mendekat ke arah tempat tidurnya, lalu dia duduk di sana.
"Dia harus dihukum, aku udah pernah ngelarang dia buat naik motor dan dia tetap ngeyel—BAWA-BAWA LENA LAGI." Katya menelan ludahnya, tahu bahwa mungkin caranya untuk memejamkan mata sudah tidak lagi natural seperti orang tidur. Sekarang dia lebih terlihat seperti anak nakal yang sedang berpura-pura tidur—yah, dia memang seperti itu kan?
Suara ayah terdengar lagi. "Bawa Lena?!" Lena terkekeh tidak enak, masih berdiri di dekat bunda. "Oke, emang dia pantas dihukum sih."
Oke, Katya gak punya backingan sekarang. Biasanya bunda akan membantunya jika ayah marah, atau sebaliknya. Tapi sekarang... kenapa setelah bercerai keduanya malah jadi kompak begini, sih?!
"Aku akan potong uang jajan—setengahnya mungkin? Dan setelah itu, dia juga harus diantar-jemput setiap sekolah. Kamu yang antar sekolah, biar aku aja yang jemput. Lena gak apa-apa kan pulang sekolah sendiri dulu? Eh, atau bunda jemput tapi agak telat?" Lena mengangguk, dan bunda langsung tersenyum puas. "Andai kakak kamu penurut juga kayak kamu... haduh, yah, anak beda-beda sih, tapi KOK BISA BEDA BANGET GITU."
Uang jajannya mau dipotong... setengahnya.... Katya gak punya alasan untuk gak gelisah di dalam tidurnya, apalagi setelah mendengar penuturan bundanya sekali lagi.
"Gimana kalau biaya perbaikannya juga biar Katya aja yang tanggung, berapa sih?" Katya langsung mengenggam selimutnya kuat-kuat. Oh, kenapa sih bunda tega banget?! "Ya, Katya ya? Kamu yang tanggung mau? Biar belajar tanggung jawab, jadi gak macem-macem mulu?"
Suara bunda terdengar terlalu dekat, Katya bahkan bisa merasakan tangan bunda yang diletakkan di dekat kepalanya. Membuatnya gak punya pilihan lain selain membuka matanya dan berhadapan langsung dengan wajah galak bundanya di sana.
***
"Gue mau main tahu." Ini sudah ke-1453647839 kalinya Katya mendengar Lena mengeluh setelah disuruh menjaganya di rumah sakit. "Gue udah janji sama Yura...."
"Yaudah, pergi aja sana!" Lena langsung cemberut, padahal Katya jauh lebih merasa kesal karena harus mendengar keluhan Lena barusan berkali-kali. "Pergi aja, toh gue gak bakal ngadu. Yah, kecuali kalau lo balik ke sini sebelum ayah atau bunda datang sih."
Lena berdecak, kemudian dia kembali menoleh ke arah Katya dengan wajah berseri-seri. "Ayah dan bunda! Eh, lo ngerasa gak sih kalau dengan kecelakaan lo ini, menguntungkan banget?!"
Well, iya. Kalau menurut Lena definisi menguntungkan itu harus berkendara malam-malam dan membelokkan motornya tanpa rencana karena berpapasan dengan motor milik ibu-ibu yang membuatnya harus rela kakinya terluka karena motornya masuk ke got dan harus mendengar kata-kata tajam bunda tadi malam lalu menerima hukuman paling mengerikan yang pernah dia hadapi. Uang jajannya dipotong setengahnya, SETENGAHNYA.
"Bunda sama ayah jadi harus jagain lo dan mereka jelas bakal banyak interaksi dan mungkin jadi berubah pikiran soal perceraian! Iya kan?!" Katya mau bilang, hal itu terdengar agak mustahil mengingat bagaimana keduanya sempat tinggal bersama sebelumnya dan pada akhirnya memutuskan untuk bercerai, jadi menurutnya agak sulit kemungkinan keduanya akan jatuh cinta kembali hanya karena interaksi sedikit ketika anak sulungnya kecelakaan.
Tapi Katya memilih diam saja. "Berarti kita gak bisa lanjutin rencana di taman itu dong, lo kan gak punya duit sekarang." Lena berujar lagi, tanpa perasaan. "Gue gak ada duit sebanyak itu kalau gak patungan sama lo! Gimana kalau kita mulai cari cara lainnya aja? Menurut gue, bawa mereka ke restoran lebih affordable daripada harus nyewa satu taman, gimana? Pakai duit gue aja dulu juga gak apa-apa, kok! Tapi nanti kalau uang jajan lo udah balik semula, lo ganti ya?"
"Anniversary udah tinggal delapan hari lagi kan? Menurut lo, emangnya kita punya waktu buat nyiapin semuanya lagi?" Katya bertanya skeptis. "Besok gue baru keluar dari rumah sakit, terus gue gak dibolehin pergi kemana-mana, paling enggak, bunda pastinya bakal laksain hukuman itu sekitar dua mingguan lah. Terus gimana caranya kita persiapin itu semua sementara gue gak boleh kemana-mana sekarang? Lo kan gak bisa ngapa-ngapain sendiri! Pesen makanan aja harus gue yang pesenin!" Lena langsung memajukan bibirnya, kesal tapi setuju dengan penuturan Katya barusan.
"Bisa gue usahain kok!" ujarnya kesal. "Hah, iya sih ya susah kalau sendiri. Tapi...." Lena menghentikan kalimatnya, lalu wajahnya yang mengkerut menandakan bahwa dia sedang berpikir lebih lanjut.
Katya menggeleng, dia memilih tidak menjawab ocehan Lena dan kembali fokus ke tayangan televisi yang sama sekali tidak menarik perhatiannya, sebelum akhirnya Lena memekik girang dan membuat fokusnya kembali ke gadis yang masih menggunakan seragam sekolah dengan rambut acak-acakan itu.
"Apa lagi?" tanyanya capek sendiri dengan keoptimisan Lena.
"Gue ada ide, ada ideee! Eh, pokoknya lo anteng-anteng aja deh terima hukuman, gue bisa sendiri. Eh, enggak, lo harus bantuin juga, dan lo bisa bantuin dari rumah, pokoknya bisa deh!"
Katya menatap adiknya sekali lagi. Lena kelihatan berantakan banget dengan seragamnya yang kusut, rambut berantakan, dan wajah yang gosong terkena matahari, tapi semangat positif yang memancar dari wajahnya membuat Katya gak tega untuk bilang kalau dia sama sekali tidak mempercayai rencana apapun yang hendak Lena lakukan nanti.
***
ini cerita saking simplenya sampe aku bingung, bingung gimana nulisnya, wkwk aneh🥹 hampir 20 hari yah wowww sorry ehehehehe
semoga masih nyimpen ceritanya ya????🥹 see you on the next chapter!
18.07 // 19 Juni 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Katya & Lena's Secret Mission [COMPLETED]
General FictionKatya dan Lena emang gak akur, tapi kehidupan mereka baik-baik saja, keduanya tumbuh besar melihat kedua orangtua mereka saling mencintai. Namun suatu hari, hal tidak terduga terjadi. Lena terbangun di tengah malam dan mendengar rencana perceraian k...