"Assalamu'alaiku-"
Baru saja Ana menarik gagang pintu, ia sudah dibuat kaget dengan ucapannya sendiri. Ah, masalah ini pastinya. Ana berdehem pelan, semoga saja tak ada yang mendengar salamnya.
Namun Ana harus meringis pahit ketika mendapati dua wajah orangtuanya mengeram kesal. Dengan wajah merah menahan amarah sekaligus kecewa yang teramat dalam.
"Apa ini?" bentak Dad kesal. Beberapa helai kerudung pashmina polos tersungkur di bawah kaki Ana. Ana hanya mampu terdiam. Tamatlah sudah riwayatnya.
"Kerudung, Dad," jawab Ana lemah sambil menundukan kepalanya. Tangannya memilin ujung rok nya gelisah.
Dad semakin marah. Air mukanya berubah menjadi pucat. "Great! Apa yang dilakukan seorang kaum Atheist dengan kerudung, huh! What do you think you are?"
Dad mendekat ke arah Ana. Menginjak-nginjak beberapa helai kerudung itu dengan sepatunya. Tak berhenti di situ, Dad menarik rambut Ana, menjambaknya hingga kepala Ana sedikit miring ke atas. "Rambut ini yang mau kamu tutupin?"
"Tapi Dad, Ana nggak pernah memakainya. Itu cuma hadiah-"
"DIAM! Dan jangan bantah Dad." Dad semakin menarik rambut Ana lebih kuat. Ana meringis kesakitan.
Mendengar Ana merintih, Dad akhirnya melepaskan cengkeramanya pada rambut Ana. Ana langsung mengelus puncak kepalanya yang terasa berdenyut seperti baru saja dicabuti rambutnya. "Puas kamu jadi orang Muslim? Tiap hari beribadah? Hah?"
Mom memegang lengan Dad. Mengelusnya agar lelaki itu tenang. Mom dengan pelan menyerahkan beberapa kain kepada Ana. Ternyata memang benar, dalam keadaan apapun wanita memang lebih sabar.
"Ini-"
"Ya. Mom nemuin ini waktu mom beresin kamar kamu. Mom kecewa, sangat kecewa."
Ana memandang Mom sedih. Ia tak tega melihat ibunya berkaca-kaca seperti itu. Ah! Ana kenapa kau selalu merepotkan?
"I'm sorry, Mom. Ana nggak bermaksud untuk mengkhianati keluarga kita. Ana cuma belajar buat mengerti Tuhan. Ana cuma pengen punya sesuatu yang memeluk seluruh doa dan mimpi Ana, Mom. Ana cuma pengen punya agama." Ana menangis sesenggukan.
Rahang Dad semakin mengeras. Wajahnya dan tubuhnya menjadi kaku. Marah. Ia sangat marah. "Kau pikir kau hidup dengan apa, hah? Uang! Life is money. Tuhanmu adalah uang, harta dan kekayaan. Selain itu, tak ada yang lebih penting lagi."
Air mata semakin mengalir di kedua pipi Ana. Ia tak pernah mengira jika, Dad sangat memuja uang. Ia bahkan baru tau jika bagi Dad, harta adalah segalanya baginya. Ana geleng-geleng kepala. Tausiyah dan ceramah yang kerap didengarnya akhir-akhir ini membuatnya percaya akan keberadaan Tuhan. Membuatnya percaya pada Tuhan.
"Istighfar, Dad. Uang bukan segalanya. Kepercayaan hati. Itulah yang harus kita pegang, Dad. Kita harus percaya, jika ada Tuhan yang menciptakan manusia, alam dan juga makhluk hidup lainya. Sadar, Dad! Kita juga perlu agama. Yang mengajak kita menuju jalan surga."
"KAU BICARA APA HAH?" Dad menampar pipi Ana keras. Membuat gadis itu terhuyung kebelakang. "Don't play smart with me," seru Dad jengkel karena merasa Ana telah mengguruinya.
Ana menyentuh pipi kanannya yang habis ditampar Dad. Disentuhnya pelan. Rasanya perih. Mungkin jika Ana dapat melihatnya ia yakin jikalau pipinya mungkin sudah memerah.
Ana mendongakan tubuhnya. Menahan deru air mata yang kian menderas. Dad, tega menamparnya.
"Hei! Kau anak tak tahu diuntung. Kemari kau! Heh! Kau mau kemana?" teriak Dad saat Ana hendak melangkahkan kakinya menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ending for Alone On Editing (Completed)
RomanceTak selamanya seseorang itu sendiri. Tak selamanya seseorang itu terkena musibah. Sesuatu pasti indah pada waktunya. Tapi apakah itu benar? Mengapa gadis ini selalu dipermainkan keadaan. Seolah olah tak ada kebahagian yang tersisa untuknya. Kesalah...