Author's POV
Pagi itu Ana berangkat lebih pagi dari biasanya. Ia menjinjing beberapa novel yang di kembalikannya di perpus.
"Fyiuh ..." Ana mengusap beberapa bulir keringat yang mengalir di dahinya. Diambilnya tissue basah lalu mengelap permukaan wajahnya.
Ana melirik sekitar. Kelasnya masih sepi, hanya ada beberapa siswa yang duduk di bangku belakang. Siswi itu mungkin saja sedang berumpi ria. Terlihat dari pembicaraan yang cukup serius.
Ana hanya menatap beberapa siswi itu acuh. Selama mereka tak menyinggungnya dalam obrolan mereka, Ana tak merasa terganggu.
Ana hanya mengetuk-ngetukan jarinya di meja. Bosan. Ia datang terlalu pagi, jadi waktu untuk menunggu bel berbunyi itu terasa sangat panjang dan membosankan.
Mata coklat terang Ana yang mulanya hampir terkatup langsung melotot tajam. Loh? Gak biasanya banget.
Rudy melangkahkan kakinya memasuki kelas. Tanpa earphone, tanpa pejaman mata, tanpa terik matahari. Tidak seperti biasanya. Dan anehnya lagi, Rudy menenteng gitar di tangan kanannya. Bibir lelaki itu yang biasanya membentuk garis lurus, kini melengkuk membentuk sebuah senyuman. Rudy yang aneh, bukan?
Rudy dengan santainya berjalan melewati bangku Ana tanpa menoleh sedikitpun. Ana yang baru saja dilewati oleh Rudy berasa ingin pingsan. Aroma maskulin dari tubuh Rudy menusuk indra penciuman Ana dan membuat gadis itu tak ingin mencuci hidungnya. Eh?
Jantung Ana berdebar sesaat. Dalam hati ia mulai menilai-nilai cowok itu. Apasih kelebihan dia sehingga membuat Ana terpesona pada lelaki itu?
Ana mengamati Rudy dan tubuh kekarnya. Mungkin ikut fitness. Batin Ana.
Wajah Rudy kelewat tampan. Entah sudah berapa kali Ana menyebut Rudy tampan. Namun tidak ada lagi ungkapan yang cocok untuk menggambarkan wajah Rudy.
Ana senyum-senyum sendiri. Pikiranya mulai berkeliaran membayangkan hal-hal aneh yang menurut Ana sangat impossible. Tapi senyumnya tiba-tiba lenyap tak berbekas ketika tahu-tahu Rudy balas menatap sambil menyunggingkan senyum manis pada Ana.
'Duh. Mau dikemanaim mukaku ini? Ana bodoh. Sering banget deh ceroboh. Ntar kalau Rudy berpikir macam-macam gimana? Ah, kampret.' gerutu Ana sambil tersenyum kikuk pada Rudy lalu memalingkan wajahnya.
Ia sangat malu, wajahnya bersemu merah. Kalau cewek lain yang nge-fans sama Rudy mungkin udah teriak histeris disenyumin kayak gitu. Tapi Ana adalah Ana. Gadis yang gak akan baper hanya dengan senyuman seorang pria.
Ana menatap kedepan lagi, ia tak ingin menoleh kebelakang. Bisa-bisa ia malu semalu-malunya kalau ketahuan merhatiin Rudy hingga detail.
"Hai, Fan. Gue duduk di sebelah lo ya?" Ana menoleh ke sumber suara yang berasal dari tiga meja disampingnya.
Itu Giselle. Dia menjatuhkan tas sekolahnya di kursi sebelah Fani, teman sekelas Ana.
Melihat itu, Ana hanya menghela nafas pasrah. "Duh, Giselle beneran marah sama aku ya? Ini udah hari ketiga Giselle duduk di samping Fani, sedangkan aku? Sendiri. Yeah.'
Wajah Ana tiba-tiba mendadak murung. Ia baru sadar akan sesuatu. Sesuatu yang ternyata tanpa sadar menjadi bagian hidupnya.
Sahabat. Yah, itu. Ketika Giselle jauh dari Ana, Ana merasa kesepian. Hampa. Suatu perasaan yang tak pernah Ana dapatkan ketika masih berada di samping Giselle.
Gadis itu. Tulus menganggapnya sebagai sahabat. Tapi Ana, malah mengacuhkannya.
Kini Ana menyesal. Ia baru saja kehilangan seorang sahabat yang baru saja di sadari keberadaanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ending for Alone On Editing (Completed)
RomanceTak selamanya seseorang itu sendiri. Tak selamanya seseorang itu terkena musibah. Sesuatu pasti indah pada waktunya. Tapi apakah itu benar? Mengapa gadis ini selalu dipermainkan keadaan. Seolah olah tak ada kebahagian yang tersisa untuknya. Kesalah...