"Mama, au mana?" Tanya bocah kecil dengan cedalnya.
"Mama mau pergi sayang. Kamu sama Bi Fela yah?" Ana berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Rain yang masih berumur 2 tahun. Ana menatap manik mata abu-abu itu yang kini memandangnya berkaca-kaca. Ana sungguh tak tega meninggalkan anaknya. Namun, keinginan Rudy untuk berbulan madu mau tak mau harus meninggalkan anak semata wayangnya.
"Sini mama peluk!" Ana mendekap tubuh mungil Rain. Ia mengelus rambut pirang bocah itu pelan.
"Mama gak oleh pegi!" Tangis Rain sesengukan. "Nanti lau Len tangen mama dimana?"
"Stttt..... sayang! Kamu dirumah sama bi Fela, sama mang Dares. Mama gak lama kok ya. Ntar kalau mama pulang, Rain mau apa?"
"Len mau adek, Bial kayak Badai ma. Badai punya zahra yang ucu. Len, pengen!" Rain mengerucutkan bibirnya dengan lucu. Ana bingung harus menjawab apa. Rain, ingin punya adik seperti Badai, tetangga mereka. Alhasil, wajah Ana pun memerah.
"Mama, napa?" Dengan polosnya Rain bertanya pada Ana yang nge-blush berat.
"Mama malu sayang. Oke, kalau gitu Mama sama Papa pergi ya sayang. Bentar lagi pesawatnya mau berangkat. Besok kalau Papa pulang, papa bawain adek deh buat kamu. Rain mau berapa, 1.. 2... atau 3?" Rudy datang dengan 3 koper dan tak sengaja mendengar percakapan anaknya dengan istrinya. Ia tersenyum, Ana malu akan pertanyaan Rain. Dan, ia pun menjawab petanyaan putri kecilnya sambil mengelus rambutnya sayang.
Ana pun melotot mendengar ucapan Rudy pada Rain. Rudy yang merasakan aura kelam dari diri Ana pun langsung berdiri dan menarik tangan Ana, memaksa untuk mengikutinya.
"Kita bahas ini nanti. Sekarang kita yang penting kita bisa lepas dari Rain. Oke?" Bisik Rudy tepat di telinga Ana. Secara nurani, Rudy tau kalau istrinya pasti sudah semerah tomat, untuk itu ia langsung menatap Rain, anaknya.
"Papa sama Mama pergi dulu ya sayang! Dahh!!" Rudy menciumi pipi Rain dan mencubitnya gemas. Ana pun melakukan hal yang sama.
Rain menatap nanar kedua orang tuanya yang pergi tergesa-gesa mengeret koper. Hatinya pedih karena ditinggal sendiri. Ya, tapi ia gak boleh marah sama orang tuanya. Rain tersenyum mengingat orang tuanya yang akan membawakanya adik. Rain pun tersenyum senang dan berlari kecil keluar rumah.
.
"Badai.. oh Badai....!" Rain memanggil nama Badai, tetangganya berkali-kali. Ia mendengus sebal dan mengerucutkan bibirnya.
"Pati, Badai macih bobo'!" Rain menengok lampu rumah itu yang masih menyala. Memang, ini masih pagi buta sekaligus hari Minggu dan pasti pemalas itu masih molor.
"Loh, kok Rain disini?" Seorang wanita cantik dengan mata coklat terang menatap Rain heran.
"Len gak unya temen tante. Mama sama Papa pegi. Tapi len ceneng, katanya Len mau dikacih dedek kaya Zahra!" Bibir polos itu berucap cedal dan tangan mungil Rain menyentuh pipi Zahra yang ada di gendongan wanita itu, yang tak lain adalah ibu Badai.
Ayu-ibu Badai, tersenyum penuh pengertian. Ia tau kemana orang tua Rain pergi. Dan ia pun maklum.
"Kalau gitu, sana bangunin Badai! Ia masih bobok noh! Tante mau beli bubur dulu ya!"
"Baik tante ay!" Rain memberikan hormat pada Ayu kemudian berlari masuk ke rumah Badai dan membuka kamar Badai. Kamar dengan cat warna merah dan hitam. Poster Ultramen yang tertempel dimana-mana ; di lemari, di belakang pintu, di sepanjang tembok bahkan di langit-langit. Hal itu tentu saja membuat Rain mendecak, bagaimana bisa kamar Badai seberantakan gini. Selimut terlempar tak karuan, kaos kaki berselebar di lantai, sepatu di atas meja, bahkan celana dalam pun tersampir di atas kursi.
![](https://img.wattpad.com/cover/40499771-288-k804152.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ending for Alone On Editing (Completed)
RomanceTak selamanya seseorang itu sendiri. Tak selamanya seseorang itu terkena musibah. Sesuatu pasti indah pada waktunya. Tapi apakah itu benar? Mengapa gadis ini selalu dipermainkan keadaan. Seolah olah tak ada kebahagian yang tersisa untuknya. Kesalah...