1. Film Terbaik

64 6 0
                                    

Arok tidak dapat menghilangkan senyum yang sejak tadi merekah lebar menghiasi bibirnya. Saat ini, ia tengah berbahagia dan rasanya ingin sekali melompat-lompat kegirangan. Namun, hal tersebut tidak dilakukan lelaki itu, mengingat ia tengah berada di tempat umum.

Melihat temannya yang senyum-senyum tidak jelas, Wisnuwardhana dengan ringannya menggeplak kepala sang kawan.

Tindakan Wisnuwardhana sontak membuat Arok meng-aduh kesakitan. "Wisnu, kenapa kau geplak kepalaku?" tanyanya sambil mengusap-usap kepala.

"Sejak tadi lo senyum-senyum gak jelas. Gue takutnya lo kesambet," jawab Wisnuwardhana tanpa merasa bersalah.

"Aku gak kesambet, ya. Justru aku senang, karena usaha kita gak sia-sia. Film kita berhasil menjadi yang terbaik dalam tugas pembuatan film Bu Lena. Tentunya aku senang. Kalian juga, kan?" Arok bertanya sembari memperhatikan satu persatu temannya yang memenuhi meja makan tersebut.

"Gue senang, tapi gak kaya lo yang senyum-senyum terus kaya orang gila," sahut Anusapati. "Ah, iya, seharusnya gue gak perlu heran, karena lo, kan, emang suka senyum-senyum gak jelas."

"Sembarang kau kalau ngomong, Anus. Mana ada aku senyum-senyum gak jelas." Arok membantah ucapan sang kawan tentang dirinya.

"Perlu gue kirim video kompilasi berapa kali lo senyum-senyum gak jelas dalam sehari? Ada kali seratus empat puluh lima juta kali lo senyum dalam sehari. Dasar kerokan gak jelas. Bisa-bisanya gue punya temen kaya lo."

Penuturan Anusapati sontak membuat Arok tersenyum getir. "Aku senyum juga bukan tanpa alasan. Inilah akibat karena gak punya ilmu. Senyum itu ibadah, Bro."

"Ibadah kalau dilakukan dalam batas wajar. Kalau lo yang melakukannya, bukan ibadah lagi namanya. Lo yang udah gila."

Arok berdecak sebal. "Terserahlah. Pokonya, aku senang karena film kita berhasil mendapatkan nilai tertinggi dan menjadi film pendek terbaik. Siapa sangka seorang Arok bisa menciptakan film bagus seperti itu?" Ia berucap bangga dengan pencapaian yang telah diraih.

"Film kita, Rok," cetus Tohjaya yang akhirnya angkat suara.

"Iya, maaf. Maksudku film kita." Arok membalas sambil menunjukkan deretan gigi putihnya.

"Nah, kan, senyum lagi. Emang gila nih anak." Wisnuwardhana menatap aneh Arok yang berada di sebelahnya.

"Kau jangan ikut-ikut si Pati, ya, Nu!" Arok mengarahkan jari telunjuk di depan Wisnuwardhana.

"Apa? Mau mukul gue? Sok, atuh. Gue gak takut. Asal jangan si Kerta aja, sih. Takut gue." Wisnuwardhana bergidik ngeri. Tindakan yang pernah dilakukan Kertanegara padanya beberapa waktu lalu semakin membuat cowok itu takut.

"Jika takut, maka jangan lakukan kesalahan lagi. Aku melakukannya juga karena terpaksa. Jika tidak begitu, maka mungkin sekarang kita tidak bisa berkumpul bersama seperti ini. Rasa benci dan dendam pasti telah menguasai diri kalian masing-masing. Kalian mungkin akan saling menghabisi nyawa," cetus Kertanegara memberikan penjelasan. Kejadian beberapa waktu lalu benar-benar meretakkan persahabatan Singasari's King.

Dedes mendesah panjang. "Sama seperti Kerta, aku pun takut jika kalian tenggelam dalam amarah. Beruntung kita semua masih bisa berkumpul dalam keadaan sehat."

Arok membenarkan posisi duduknya lalu berdehem. "Sekali lagi, aku mau mengucapkan maaf atas perilaku papaku yang menjadi akar dalam permasalahan keluarga kita. Aku bahkan tidak pernah tahu jika papaku sejahat itu," katanya lalu menoleh pada Anusapati. "Mungkin bukan salahku, tapi karena papaku, nyawa papamu melayang. Aku gak minta kau memaafkan papaku, tapi kuharap, kau mengikhlaskan kepergian papamu."

Anusapati menepuk pundak Arok. "Lo bicara apa, sih, Rok? Masalah itu udah selesai dan gak ada lagi yang perlu dibicarakan. Gue memang gak bisa melupakan fakta bahwa papa lo yang menghilangkan nyawa papa gue, tapi gue juga gak bisa tutup mata gitu aja atas apa yang telah papa gue lakukan. Mungkin ini kali, ya, yang dinamakan karma. Papa gue melakukan kesalahan pada mama Jaya dan sudah seharusnya dia menebus kesalahan itu."

"Aku setuju dengan Pati, karena bagaimanapun juga, kami bersuara. Masalah yang terjadi di antara orang tua kita cukup sampai di sana saja. Kita tidak ada sangkut pautnya dengan mereka," sahut Tohjaya. Dendam yang ada di hatinya masih ada, tetapi ia berusaha mematikannya.

Seulas senyum terbit menghiasi bibir Arok. "Terima kasih, teman-teman,", katanya. "Ah, iya, mengenai apa yang disampaikan disampaikan bu Lena, kita mau gimana? Apakah kita akan mengirimkan film itu ke kompetisi film pendek remaja?"

"Sejujurnya aku tidak pernah bermimpi akan mengikuti kompetisi film pendek, tetapi jika respon Bu Lena sepositif itu, maka tidak ada salahnya mencoba," jawab Dedes yang juga ikut antusias. Tidak hanya mendapatkan predikat film pendek terbaik, tetapi Singasari's Squad diminta langsung oleh sang guru untuk mengikuti kompetisi film pendek remaja.

"Gue juga setuju, karena film kita memang pantas mendapatkan predikat itu. Seperti kata Dedes, gak ada salahnya mencoba," sahut Anusapati setuju.

"Kalau gue, sih, males, ya. Bukan apa-apa, nih, kalau misalnya menang, takutnya gue mengalahkan kepopuleran si Pati. Bisa-bisa gue mendapatkan tawaran menjadi aktor, terus meninggalkan kalian. Nanti dibilang gue gak setia kawan."

Penuturan Wisnuwardhana sontak membuatnya mendapatkan tatapan yang sulit diartikan dari teman-temannya.

"Kenapa kalian menatap gue kaya gitu? Omongan gue gak ada yang salah, kan?" tanya Wisnuwardhana lagi.

"Gak salah, tapi salah banget. Pikiranmu terlalu kejauhan, Wisnu. Kau jadi aktor terkenal? Prett. Syuting film kita aja kau banyak mengeluhnya." Arok mewakili teman-temannya menyampaikan tanggapan atas perkataan Wisnuwardhana.

"Punya temen gini amat. Bukannya dukung temannya, eh, malah diejek."

"Sama sepertimu yang mengejekku orang gila dan sejenisnya," balas Arok lagi. "Udah, ah. Aku mau serius. Gimana dengan kalian, Jaya dan Pati? Setuju gak, kalau film kita diikutsertakan dalam kompetisi film pendek remaja? Menurutku, ini merupakan kesempatan emas."

Tohjaya mengangguk. "Jika semuanya setuju, maka tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyetujuinya."

Jawaban Tohjaya membuat Arok bersorak girang. "Kerta, kau juga setuju, kan? Kalau pun enggak, kau tetap akan kalah, karena suara terbanyak mengatakan setuju."

Kertanegara mengembuskan napas berat. "Ikut kontes itu bukan sekadar ikut-ikutan saja, tetapi harus ada persiapan yang matang. Pertanyaannya, apakah kita sudah siap? Film kita pun tidak bisa langsung dikirimkan begitu saja. Ada beberapa perbaikan yang harus dilakukan," komentarnya.

"Tidak kusangka jika kamu sudah berpikir panjang seperti itu." Dedes mengungkapkan kekagumannya pada teman sebangkunya itu.

"Emang gitu dia, Des. Selalu selangkah di depan kami. Pikirannya udah ke mana-mana, eh, kami masih di tempat. Selalu tertinggal dari dia dan Jaya," ucap Arok.

"Itu artinya semua setuju, kan? Sekarang kita perlu membahas mengenai apa-apa aja yang harus dipersiapkan sebelum mengikuti
kompetisi film pendek remaja itu. Kapan kita bisa mulai berdiskusi?" Anusapati bertanya antusias.

Bersambung...

Hallo semua 👋

Bertemu lagi dengan Singasari's Squad. Cerita ini merupakan lanjutan cerita sebelumnya dengan judul Eka Prasetia Amerta. Kisah apalagi, ya, yang menanti Singasari's Squad? Yuk, ikuti terus Eka Prasetia Amerta 2: Kartika Candra.

Terima kasih 🤗💕

Eka Prasetia Amerta 2: Kartika Candra [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang