14. Fiksi Sejarah?

6 1 0
                                    

Sebelum mulai melanjutkan naskah film milik Singasari's Squad, terlebih dahulu mereka mendapatkan penjelasan mengenai kontrak dan sebagainya. Sebagai seseorang yang bekerja di industri yang sama, Anusapati sedikit banyaknya mengetahui hal-hal di balik layar. Meskipun begitu, ia tetap menghormati berbagai pihak yang menjadi rekan kerja samanya kali ini.

Sebagai langkah awal, sekaligus yang paling penting, Singasari's Squad bersama penulis skenario akan berdiskusi terkait film mereka. Apakah tetap akan mengangkat orisinilitas karya Singasari's Squad atau ada cerita tambahan guna melengkapi cerita tersebut. Antara kedua belah pihak, harus mencapai kesepakatan agar karya yang dihasilkan memuaskan.

"Kita udah kaya penulis skenario profesional, ya," cetus Arok dengan senyum merekah lebar.

"Berlebihan lo, Rok. Kita bahkan belum ketemu sama pak Heri. Bukan apa-apa, tapi gue takut aja, tuh, cerita kita dirombak-rombak. Alamat capek mah kita," sahut Wisnuwardhana panjang lebar.

"Risiko itu pasti ada. Lagipula, capek untuk karya sendiri, kan, gak masalah. Sebelumnya kita juga udah meluangkan banyak waktu, usaha, tenaga untuk film kita. Apa pun itu, ya, kita harus hadapi." Anusapati berucap bijak di depan teman-temannya.

"Halahh, sok bijak lo, Pati!" komentar Wisnuwardhana. Si pemilik nama hanya cengar-cengir saja.

Dedes angkat suara. "Aku yakin kita bisa," katanya. "Kita telah berjalan bersama sejauh ini. Seperti bintang dan bulan yang bersinar bersama di langit malam, aku ingin kita seperti itu. Tetap bersisian dan tidak saling meninggalkan."

Ucapan Dedes tidak mendapatkan tanggapan dari teman-temannya. "Eh, aku salah ngomong, ya?" tanyanya lagi. Baru beberapa menit lalu teman-temannya itu saling berbicara. Namun, tidak memberikan tanggapan apa-apa saat ia berbicara. Sangat tidak biasa.

"Tidak. Aku suka kata-katamu," sahut Kertanegara cepat sebelum gadis itu berpikir yang tidak-tidak dan merasa murung.

"Benar, Des. Kita harus saling bekerja sama dan tidak egois," sambung Tohjaya.

"Nah, ini, nih, yang gue suka kalau di kelompok kita ada ceweknya. Kata-katanya bagus, berbobot dan penuh makna. Lo mana bisa buat kata-kata bagus kaya gitu, Rok." Wisnuwardhana merangkul Arok yang ada di sebelahnya.

Risih, Arok melepaskan lengan sang kawan yang bertengger di pundaknya. "Kau pun gak bisa buat kata-kata bagus kaya gitu. Udahlah, Wisnu, sesama orang payah, kita gak usah saling mendahului," katanya.

Wisnuwardhana menggeram kesal, tetapi tidak bisa membantah ucapan sang kawan yang sejatinya benar.

Meninggalkan perbincangan Singasari's Squad, sekarang saatnya bagi mereka untuk serius. Heri, selaku penulis skenario film mengajak keenam remaja itu berdiskusi bersama. Sebagai seorang profesional, Heri memberikan beberapa saran dan masukan. Ia berpendapat bahwa keoriginalitas film Singasari's Squad harus dirubah dan diberikan sedikit bumbu-bumbu pelengkap cerita.

"Sebelumnya saya minta maaf, Pak, tetapi saya tidak setuju dengan saran Bapak. Saya dan teman-teman membuat cerita ini tanpa menghilangkan nilai sejarah dari kerajaan Singasari. Penonton tidak hanya merasa terhibur dengan film kita, tetapi juga mendapatkan pengetahuan," tukas Kertanegara memberikan pendapatnya.

"Saya mengerti dengan tujuan dan maksud kalian, tapi saya juga tidak akan menghilangkan nilai-nilai sejarah yang terkandung dalam film kalian. Sekarang ini, film berdasarkan sejarah yang diceritakan secara lengkap akan terasa membosankan. Akan lebih baik jika dibumbui dengan cerita fiksi. Fiksi sejarah tidak masalah, kan?" balas Hadi memberikan tanggapan atas pendapat Kertanegara.

"Tetapi, kebanyakan fiksi sejarah hanya menceritakan fiksinya saja. Tidak dengan sejarahnya."

Anusapati menepuk bahu Kertanegara. "Lo tenang dulu, Kerta. Pak Heri udah menulis naskah untuk banyak film. Pak Heri tahu apa yang harus dilakukannya. Menurut gue juga gak ada salahnya film kita ber-genre fiksi sejarah."

"Fiksi sejarah bagaimana? Sejak awal, kita tidak pernah berpikir membuat film fiksi sejarah. Kita telah berusaha keras untuk membuat film itu. Menceritakan tentang awal mula kerajaan Singasari dan para penguasanya. Menceritakan tentang tragedi berdarah yang menghiasi Singasari, dan kau ingin menjadikannya fiksi? Bagian mana yang mau kau ubah, hah?"

"Kita gak akan mengubah sejarahnya, Kerta, tapi hanya menambahkan beberapa adegan fiksi di dalamnya."

"Bukannya itu hanya akan merusak sejarah?" Kerta balik bertanya pada Anusapati yang sontak membuatnya terdiam. Sedangkan yang lain bingung harus berkomentar seperti apa.

"Sudahlah, Kerta. Kita jangan sampai bertengkar." Tohjaya berucap pelan.

Kertanegara berdecak sebal dan lebih memilih tidak melanjutkan perdebatannya setelah menyadari Heri sejak tadi diam dan mengamati. Raut wajah pria itu mulai berubah dan dari gerak tubuhnya terlihat sudah tidak nyaman berada di sana.

"Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, Pak. Saya dan teman-teman belum sependapat mengenai saran yang Bapak sampaikan." Tohjaya berucap segan pada pria itu. Ia tidak ingin perdebatan kecil yang terjadi antara Anusapati dan Kertanegara menjadi pertimbangan Heri untuk melepas tanggung jawabnya atas film mereka.

"Saya paham betul apa yang kalian inginkan, tetapi saya pun tahu apa yang sebaiknya ada dan tidak pada film kalian ini. Sebaiknya, kita akhiri saja diskusi ini. Kalian berembuk terlebih dahulu dan satukan pendapat. Akan tetapi, saya tidak akan merubah ucapan saya. Fiksi sejarah adalah genre yang tepat untuk film ini. Jika kita tidak bisa menyelaraskan pendapat, maka tidak ada lagi alasan bagi saya menjadi penanggungjawab film kalian."

Heri beranjak meninggalkan tempatnya. Menyisakan Singasari's Squad yang bergeming di tempat mereka tanpa kata sebelum memilih saling tatap satu sama lain, kecuali Kertanegara.

"Apa? Kalian lebih sependapat dengan pak Heri?" tanya Kertanegara tanpa melihat lawan bicaranya.

"Bukannya gitu, Kerta, tapi kita juga gak bisa nolak mentah-mentah saran dari pak Heri. Tahu sendiri pak Heri itu lebih senior dan profesional. Dia tahu apa yang harus dilakukannya," kata Anusapati memberikan penjelasan agar Kertanegara mau melembutkan hatinya.

"Tapi film ini milik kita. Pendapat kita juga harus dipertimbangkan. Sekarang kutanya pada kalian, mau mengikuti pak Heri atau aku?"

Pertanyaan yang dilontarkan Kertanegara seketika membungkam teman-temannya yang lain. Mereka serba salah sendiri. Bingung harus memberikan jawaban apa pada Kertanegara.

"Kalian semua diam, maka kuanggap jawaban kalian ialah pak Heri. Jika memang begitu, aku akan keluar dari proyek ini." Kertanegara beranjak meninggalkan tempat duduknya.

Arok dengan sigap mencegah kepergian sang kawan. "Kita bisa diskusikan lebih lanjut, Kerta. Kami bukannya mau mengikuti saran pak Heri mentah-mentah. Tapi, gak ada salahnya jika kita pikirkan ulang."

Kertanegara memutar malas bola mata lalu melepaskan cengkraman tangan Arok di lengannya dan memilih pergi tanpa pamit.

"Kerta begitu keras kepala," keluh Anusapati memijit kepala pelan.

"Sepertinya Kertanegara butuh waktu sendiri. Kita sebaiknya pulang saja dan besok, kita ajak Kertanegara bicara," cetus Dedes akhirnya.

Bersambung...

Eka Prasetia Amerta 2: Kartika Candra [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang