18. Si Pengamat

4 0 0
                                    

Wisnuwardhana mengerang kesakitan. Namun, sang pengemudi sepeda motor yang tanpa permisi menabraknya menatap tanpa merasa bersalah sama sekali. Ia berdiri sambil berkacak pinggang di depan sang kawan.

"Kalian sedang berpesta? Kenapa tidak ajak aku?" tanyanya seraya menoleh pada teman-temannya.

"Pesta apa, Kerta? Mereka berkelahi satu sama lain, terutama Arok dan Wisnu." Dedes berucap sedikit kesal pada Kertanegara yang tidak menunjukkan ekspresi khawatir sama sekali.

"Iya, aku tahu, Des. Kamu tenang saja dan jangan khawatir. Mereka baik-baik saja, hanya terluka sedikit," ucap Kertanegara seraya meletakkan helm-nya di atas jok motor.

Dedes tidak membalas ucapan Kertanegara, karena ia percaya bahwa cowok itu bisa menyelesaikan masalah di antara mereka, setelah Tohjaya dibuat tidak bisa berkutik oleh Wisnuwardhana.

"Lo ngapain ke sini, Kerta?" Wisnuwardhana bertanya ketus seraya bangkit dari posisi tiduran tidak sempurnanya di atas aspal itu.

Sebelah alis Kertanegara terangkat. "Dedes yang minta aku datang. Kalian aku tinggal sebentar saja, sudah kembali membuat masalah. Apakah apa yang terjadi dulu tidak membuat kalian belajar? Kalian ingin mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya?"

"Bacot lo, Kerta. Semua ini juga terjadi karena lo. Lo egois dan gak peduli dengan kita. Semua kerja keras yang udah kita lakukan disia-siakan gitu aja, cuma karena lo gak setuju dengan saran pak Heri. Semua ini gak akan terjadi kalau lo gak keras kepala!" Wisnuwardhana mengungkapkan kekesalannya.

"Aku mengatakan hal yang benar. Kita membuat film sejarah, bukannya fiksi sejarah. Bukan ini alasan yang membuat kalian bertengkar. Ada apa masalah apa? Kita bisa bicara baik-baik," tanya Kertanegara. "Ah, tunggu. Bicaranya nanti saja. Kita harus membawa semuanya ke rumah sakit, tanpa terkecuali."

Kertanegara berjalan menghampiri Arok dan memapahnya. Begitu pun dengan Anusapati yang membantu Tohjaya berdiri. Namun, tindakan tersebut tidak disambut baik oleh Wisnuwardhana yang menjadi akar permasalahan.

Helm yang terletak di jok sepeda motor Kertanegara diambil lalu diarahkan pada sang pemilik sendiri.
Darah mulai mengalir sesaat setelah Wisnuwardhana memukul kepalanya dengan bantuan helm.

"Wisnu, kamu keterlaluan!" Dedes mendorong keras Wisnuwardhana. Netranya mulai berkaca-kaca. "Kamu kenapa tega melakukan itu, hah? Melukai Arok, Pati, Jaya, Kerta, bahkan aku. Alasanmu melukai mereka juga tidak masuk akal! Tidakkah kamu ingat dengan tujuan kita, bersinar bersama seperti bintang dan bulan? Kita telah melalui konflik yang lebih berat, tapi kenapa ...."

Bibir Dedes bergetar. Ia tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Melihat teman-temannya saling melukai seperti itu membuat hatinya sedih. Ke mana canda, tawa dan keceriaan yang biasa muncul kala mereka besama? Semua sirna hanya karena kesalahpahaman.

Anusapati membawa Dedes dalam dekapan. "Semua akan baik-baik aja, Des," katanya menenangkan. Akan tetapi, tatapan matanya tidak bisa berbohong. Ia menatap penuh amarah pada Wisnuwardhana. Hubungan pertemanan mereka retak begitu saja. Namun, Wisnuwardhana hanya bergeming di tempatnya.

Tawa keras seketika menarik atensi semua orang yang ada di sana. "Merasa dejavu, ya. Kalian saling melukai, tetapi kali ini, aku juga terluka. Rasanya sakit juga. Seperti inikah yang pernah kalian rasakan?" tanya Kertanegara menghapus darah menggunakan lengan bajunya lalu memperkecil jarak dengan Wisnuwardhana.

"Lo mau membalas gue, Kerta?" tanya Wisnuwardhana seraya memundurkan langkah.

"Tentu saja. Aku dilukai, tentunya aku harus membalas dan memberikan luka yang sama," jawab Kertanegara seraya mengambil helm yang tergeletak di aspal.

Anusapati menarik lengan Kertanegara guna menghentikan langkah dan niatnya. "Biarkan aja si Wisnu. Dia mungkin bukan teman kita lagi."

"Tidak bisa, Pati. Aku harus menyadarkan si Wisnu. Aku tahu ada orang lain yang berada di belakangnya."

Ucapan Kertanegara sukses membuat Anusapati dan Arok mengerutkan kening kompak. Arok berjalan pincang menghampiri Wisnuwardhana. "Benar ada seseorang yang menyuruhmu melukaiku?" tanyanya.

"Jangan bercanda! Aku bukan tipe orang yang mau melakukan sesuatu hanya karena perintah, apalagi uang. Aku murni melakukannya atas kemauanku sendiri," balas Wisnuwardhana lalu berbalik pergi.

Sebuah kerikil diambil oleh Kertanegara yang mengenai tepat kepala belakang Wisnuwardhana yang membuatnya berbalik. "Lo mau apa lagi, hah?" tanyanya emosi.

"Aku cuma mau bilang kalau ada seseorang yang mengamati kita. Entah sejak kapan, mungkin sejak awal kau menyerang Arok. Mungkin juga jauh sebelum itu."

Ucapan Kertanegara seketika membuat teman-temannya melotot kaget. Sejak tadi, jalanan itu tidak ada yang melewati. Bagaimana bisa ada yang mengamati setiap pergerakan mereka? Terlebih lagi, siapa dan alasannya apa melakukan itu?

"Kau yakin, Kerta?" Tohjaya angkat suara.

"Yakin. Saat ini dia pasti ketar-ketir dan ingin pergi dari sini, tetapi aku tidak akan membiarkannya begitu saja. Siapa pun kau, tunggu di tempatmu. Aku akan membawamu berlutut di depan kami semua."

Kertanegara mengusap sisa darah yang mengalir dari kepalanya. Rasa sakit itu begitu terasa, tetapi Kertanegara tidak ingin memanjakannya dan lebih memilih menyelesaikan masalah saat ini juga. Jika dibiarkan lebih lama, bukan hanya luka yang didapat, tetapi mungkin, nyawa ikut melayang.

"Omong kosong. Siapa yang mengamati kita, hah? Kalau ngomong jangan ngawur!" Wisnuwardhana membantah ucapan sang kawan.

"Kau yang ngawur dan terlalu bodoh. Dengan mudahnya percaya pada orang lain." Kertanegara berucap santai tanpa mempedulikan tatapan nyalang Wisnuwardhana. "Kalian di sini saja. Biar aku yang menangani orang itu."

Sesuai ucapan Kertanegara, Arok dan kawan-kawan memilih diam di tempat mereka. Ditambah, rasa sakit yang mulai menyerang membuat mereka tidak bisa berkutik sama sekali.

Seseorang terlihat meninggalkan semak-semak. Dengan cepat Kertanegara menyusul orang itu sembari melempar beberapa kerikil guna menghentikan pergerakannya. Tidak berhasil, Kertanegara merogoh saku celana dan melesatkan sebuah pisau yang berhasil melukai kaki orang asing itu.

"Kau dilarang pergi," ucap Kertanegara menarik baju belakang orang itu.

Berontak, orang asing itu menyikut Kertanegara. Namun, Kertanegara sudah lebih dahulu membaca pergerakan sang musuh. Ia lalu memelintir lengan si pengamat yang membuatnya mengerang kesakitan. Meskipun begitu, si pengamat tetap memberikan perlawanan yang sia-sia.

"Diam atau aku akan melukaimu dengan pisau ini!" Kertanegara berucap dingin sembari menodongkan pisau yang sempat melukai kaki si pengamat ke lehernya.

Bersambung...

Eka Prasetia Amerta 2: Kartika Candra [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang