16. Perkelahian

6 1 0
                                    

Entah mengapa, ucapan Gutama berhasil tertanam dalam di pikiran Wisnuwardhana. Setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat masuk akal dan pantas dipercaya. Belum lagi dengan kenyataan yang terlihat jelas di matanya. Amarah itu siap disalurkan kapan saja. Akan tetapi, Wisnuwardhana tidak bisa bertindak tanpa alasan kuat, meskipun amarahnya hampir sampai pada puncaknya.

"Tangan gue udah gatal, mau menghantar si Arok, tapi gak mungkin juga. Alasannya gak cukup kuat, meskipun tinju gue ini udah menunggu untuk mendarat di wajahnya," cetus Wisnuwardhana pada diri sendiri.

Demi meredam amarah yang ada, Wisnuwardhana beranjak meninggalkan kediamannya dengan tujuan membeli minuman dingin. Berharap, tidak hanya mendinginkan tenggorokannya, tetapi kepala dan amarahnya juga.

Namun, sepertinya Wisnuwardhana tidak diizinkan menghilangkan amarahnya terhadap Arok. Ia kembali melihat Arok bersama seorang pria, tetapi kali ini, bukan Heri yang bersama dengannya. Akan tetapi, Arok ditemani oleh sutradara yang akan menggarap film mereka.

"Lo bener-bener, ya, Rok. Gak bisa dibiarin!" Wisnuwardhana meremas minuman dingin di tangannya kuat sebelum melemparnya ke sembarang arah. Tindakan Wisnuwardhana ini tidak pantas dilakukan, karena mengotori lingkungan.

"Kebetulan sekali, ya, kita ketemu di sini, Arok dan ..." Wisnuwardhana menoleh pada sang sutradara, "pak sutradara. Suatu kehormatan bagi saya bertemu secara tidak sengaja dengan Anda di tempat ini, bersama teman saya," sambungnya.

Sutradara itu tersenyum getir. "Yah, kebetulan sekali," katanya sebelum melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, "saya harus pergi sekarang. Nikmati waktu kalian, Arok dan Wisnuwardhana."

Arok dan Wisnuwardhana kompak mengulas senyum pada pria itu. Namun, sejurus kemudian, Wisnuwardhana menatap tajam pada teman di depannya.

"Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Arok dengan kening berkerut.

Wisnuwardhana terkekeh. "Lo lucu, ya, Rok. Kenapa lo bilang? Gak usah pura-pura bodoh, dasar pengkhianat!" Ia lalu memberikan pukulan keras ke wajah Arok.

Pukulan tiba-tiba yang dilayangkan Wisnuwardhana sontak membuat Arok tersungkur. Ia tidak siap dengan datangnya pukulan itu. Ia bahkan tidak berpikir jika Wisnuwardhana akan memukulnya.

Arok memegang pipinya yang terasa nyut-nyutan. "Pengkhianat, pengkhianat. Kau jangan asal bicara, ya, Wisnu. Jangan berpikir sepihak begitu."

"Alah, bacot lo. Gue gak percaya sama setiap ucapan yang keluar dari mulut lo. Karena apa? Karena lo itu anak bos mafia yang tanpa segan menghabisi nyawa orang lain. Salah satunya bokap Pati. Gak tahu lagi, deh, berapa banyak istri yang kehilangan suaminya, berapa banyak anak yang kehilangan orang tuanya atau sebaliknya. Di tubuh lo mengalir darah orang jahat itu." Wisnuwardhana berucap sambil meninju Arok yang terpojok di tempatnya.

Arok menahan serangan Wisnuwardhana sebelum membalas pukulan sang kawan. Pukulan telak yang mendarat di pelipis Wisnuwardhana berhasil membuatnya lengah.

"Dulu aku memang gak tahu siapa sebenarnya orang tuaku, tapi sekarang aku udah tahu dan kau gak perlu menjelaskannya secara gamblang padaku. Kau pikir, aku gak merasa malu dan berdosa? Tapi, jangan pernah samakan aku dengannya, karena kami berbeda. Kau harus membayar biaya pengobatanku," kata Arok sebelum meludahkan air liurnya yang berwarna merah.

Wisnuwardhana kembali terkekeh. "Gak sekalian lo minta gue bayar biaya pemakaman lo? Gue, sih, gak keberatan, ya."

Ucapan sang kawan membangkitkan amarah yang telah dipendam Arok. "Kau keterlaluan, Wisnu. Kau bukan seperti temanku," katanya dengan tangan terkepal. "Maaf." Arok meninju keras Wisnuwardhana yang membuatnya terpental dan kepalanya terbentur kaki meja.

Suasana di sekitar mendadak riuh dikarenakan kedua orang itu saling berkelahi. Kafe yang memiliki fasilitas tempat duduk di luar itu seketika menjadi sepi. Mereka yang ada di sana memilih menghindar dan tidak ingin ikut campur dengan urusan Arok dan Wisnuwardhana.

Meskipun begitu, beberapa pekerja kafe berusaha melerai keduanya. Mereka tentunya tidak ingin pertengkaran keduanya merusak suasana ataupun merusak fasilitas yang ada di kafe tersebut.

"Jika ingin berkelahi, jangan di sini. Cari tempat yang sepi dan jangan ganggu ketenangan orang lain," ucap seorang pekerja kafe.

Wisnuwardhana berdecih sebal lalu beranjak meninggalkan tempat tersebut tanpa permisi, ataupun mengucapkan kata maaf karena telah membuat kisruh suasana.

"Maaf, ya, Bang. Saya dan teman saya gak bermaksud membuat kisruh di sini. Saya akan mengganti rugi," kata Arok seraya mengambil dompet dari saku celana.

"Gak usah, Dek. Lebih baik uangnya kau pakai berobat. Keadaanmu cukup parah sekarang," kata pria itu prihatin melihat wajah Arok yang babak belur dan dipenuhi luka.

Arok mengulas senyum tipis. "Makasih,, Bang, tapi saya gak papa. Saya permisi."

Jelas Arok berbohong. Wajahnya dipenuhi luka seperti itu dan ia mengatakan baik-baik saja. Rasa sakit di wajahnya bahkan terasa sampai ke kepala.

"Kepalaku sampai nyut-nyutan gini," gumam Arok sambil memijit kepala.

Kedua kaki itu dibawa melangkah malas oleh Arok. Hari ini ia begitu sial. Sudah mendapatkan pukulan tidak bersahabat dari Wisnuwardhana, ia harus menerima kenyataan bahwa ponselnya rusak saat terlempar dari saku celana di tengah-tengah pertengkaran yang terjadi.

Mengistirahatkan diri sejenak, Arok mendudukkan dirinya di pinggir trotoar. Melihat lenggangnya jalanan seketika membuat tawanya pecah. "Mungkin seperti ini, ya, rasanya saat Jaya kemarin dihajar sama Wisnu. Bahkan, lebih parah, karena si Jaya gak bisa memberikan pukulan balasan."

Arok teringat akan insiden yang terjadi antara Wisnuwardhana dan Tohjaya beberapa waktu lalu. Ada banyak konflik yang terjadi antara Singasari's Squad dan mereka berhasil melewatinya. Namun, kali ini, tampaknya ada konflik baru yang harus mereka selesaikan.

"Arok!"

Panggilan itu seketika membuat Arok menoleh pada sumber suara. "Dedes. Kamu ngapain di sini?" tanya Arok pada si pemilik suara yang tidak lain adalah Dedes.

"Aku yang seharusnya tanya kamu kenapa ada di sini. Wajahmu juga kenapa? Kau berkelahi dengan seseorang?" Dedes bertanya khawatir.

"Iya, dengan Wisnu. Gak masuk akal, kan?" Arok tertawa di akhir ucapannya.

"Wisnuwardhana?" Tidak ingin berpikir berlebihan, Dedes bertanya memastikan apakah Wisnu yang dimaksud adalah Wisnuwardhana atau bukan.

"Iya, Wisnuwardhana. Kenapa? Kamu gak percaya? Aku juga gak percaya, tapi kenyataannya, aku udah babak belur kaya gini karena dia."

Dedes berjongkok di depan Arok. Perilaku tiba-tiba Dedes membuat Arok terkejut dan hampir terpelanting ke belakang. "Kenapa dia melakukan itu? Apakah kalian ada masalah?"

"Aku juga gak tahu, Des, tapi Wisnu masih berpikir kalau aku itu pengkhianat."

Hening. Dedes tidak memberikan tanggapan atas jawaban Wisnuwardhana. Sampai akhirnya, suara seseorang membuat mereka menoleh kompak.

"Wisnu!"

Bersambung...

Eka Prasetia Amerta 2: Kartika Candra [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang