19. Tunggul Ametung

15 0 0
                                    

Orang asing yang menjadi pengamat dalam diam Singasari's Squad tidak dapat berkutik di tangan Kertanegara. Topi yang menjadi penyamaran identitasnya dibuang sembarang arah oleh Kertanegara sebelum membawanya ke hadapan teman-temannya.

Netra Wisnuwardhana melotot kala melihat Kertanegara membawa seseorang bersamanya. "Tama! Jadi lo diam-diam mengamati gue dan teman-teman gue?" tanyanya dengan nada tinggi.

Tama atau yang bernama lengkap Gutama Mehendra itu bergeming di tempatnya tanpa kata.

"Apa maksud lo, hah? Jangan bilang, lo sengaja melakukan semua ini supaya gue dan teman-teman gue berantem?" Wisnuwardhana menarik leher kaus yang dikenakan Gutama kasar. Tangannya yang terkepal siap menyapa wajah cowok berambut ikal itu.

Kertanegara menahan kepalan tangan Wisnuwardhana yang sebentar lagi mendarat ke wajah Gutama. "Sudah, Wisnu. Adu otot tidak akan menyelesaikan masalah. Kepalaku terasa sakit sekali sekarang. Kau jangan membuat kepalaku tambah sakit," katanya.

"Tapi gue gak bisa membiarkan dia gitu aja, Kerta!"

"Kau harus belajar sabar. Tidak lama, hanya sebentar saja. Kita cari tahu terlebih dahulu apa alasan dia mengamati kita sejak tadi." Kertanegara berucap tenang. Sejujurnya, ia sudah lelah dan ingin segera pergi dari tempat itu, tetapi masalah mereka belum selesai.

"Kau siapa dan apa tujuanmu mengintip kami seperti itu? Kau punya masalah dengan kami?" Kertanegara bertanya pada Gutama.

"Gue gak akan jawab apa pun pertanyaan lo," kata Gutama bersikeras sembari memberontak. Ia masih belum menyerah rupanya.

"Namanya Gutama Mehendra. Orang yang mengembalikan CD film pendek kita," jawab Wisnuwardhana mewakili Gutama.

Kertanegara mengangguk. "Katakan padaku apa alasanmu melakukan ini? Kami bahkan tidak kenal denganmu sebelumnya." Ia kembali bertanya pada Gutama tanpa melepaskan cengkramannya dari cowok itu.

"Udah gue katakan gue gak akan menjawab pertanyaan lo!" balas Gutama dengan keras kepalanya.

Jawaban Gutama memberikan sinyal bahwa dirinya tidak bisa diajak berkompromi. Pisau yang sempat disimpan Kertanegara kini diambil dan diarahkannya kembali ke leher Gutama.

"Lo gak akan mungkin melukai gue," ucap Gutama menatap remeh Kertanegara.

Hening. Tidak ada siapa pun yang memberikan tanggapan atas pernyataan Gutama. Langit mulai menampakkan semburat jingganya dan keadaan Singasari's Squad yang dipenuhi luka dan rasa sakit membuat tenaga mereka terkuras.

Tawa keras memecah keheningan di tempat itu. Posisi mereka saat ini berada di pinggir jalan. Bukan jalan besar tepatnya, dan kendaraan yang melintas sangat jarang sekali. Seperti mendapatkan dukungan, jalanan itu bahkan tidak dilewati satu orang pun, sehingga segala tindak-tanduk Singasari's Squad tidak ada yang melihat.

"Bro, lo salah menilai Kerta. Dia gak akan segan-segan menghabisi lo." Wisnuwardhana memelotot tajam penuh kepuasan.

Namun, seketika emosi Wisnuwardhana kembali diuji setelah air liur Gutama mendarat tepat di wajahnya. Ia memberikan tinju keras ke perut Gutama yang seketika membuatnya terbatuk.

"Lo salah sasaran. Seharusnya, orang yang lo lukai itu teman-teman lo, bukannya gue!" Gutama berucap ketus. Pukulan Wisnuwardhana di perutnya hanya memberikan efek ringan.

Kembali Wisnuwardhana mengepalkan tangan erat. Namun, pukulan yang mendarat ke pipi Gutama bukanlah berasal darinya. "Bacot! Kalau emang lo laki, akui aja kesalahan lo, sebelum Kertanegara melakukan sesuatu. Salah besar jika lo membuatnya marah, apalagi sampai membuatnya mengeluarkan senjata," jelas Anusapati. Ia sangat kesal pada Gutama dan tanpa sadar, tinjunya sudah mendarat ke wajah Gutama.

"Lo juga pengecut, karena membiarkan anak dari orang yang telah membunuh bokap lo gitu aja. Kenapa lo gak balas dendam, hah? Balas dendam sampai dia mati," cetus Gutama berani.

Penuturan Gutama membuat gigi Anusapati bergemeretak. Ia sama emosinya seperti Wisnuwardhana, tetapi tidak akan terhasut oleh Gutama begitu saja.

"Lo tangani dia deh, Kerta. Biar gue dan yang lain langsung ke rumah sakit." Anusapati menepuk pundak sang kawan.

Sebelah alis Kertanegara terangkat. "Sepertinya kau salah bicara, Pati. Bukan hanya kalian yang membutuhkan rumah sakit, tetapi aku juga terluka. Aku ditinggalkan di sini sendirian, bersama dengan orang ini?" Protesnya. Dibandingkan yang lain, ia juga mendapatkan luka parah.

"Gue tahu, tapi cuma lo yang bisa menangani dia. Cepat selesaikan masalah ini dan susul kita ke rumah sakit. Kalau lo gak mau sendirian, gue temani, deh, biar Dedes yang bawa Arok dan yang lain ke rumah sakit," usul Anusapati lagi.

Kertanegara mengembuskan napas berat. "Kalian pergi, tetapi Dedes tetap tinggal denganku. Kau bawa motorku saja. Kuncinya masih di motor kalau aku tidak salah ingat," tukasnya memberikan penjelasan.

"Oke, gue bawa yang lain ke rumah sakit." Anusapati meninggalkan Kertanegara lalu memperkecil jarak dengan Dedes. "Kamu bantu Kerta, ya, Des. Biar Arok, Jaya dan Wisnu gue yang bawa ke rumah sakit. Pokonya, kamu jangan takut sama Kerta. Dia bisa mengontrol emosinya dengan baik," jelasnya.

Dedes mengangguk meskipun tidak begitu mengerti apa maksud ucapan Anusapati. Akan tetapi, ia percaya dengan Anusapati, Kertanegara dan teman-temannya. "Kalian hati-hati," pesan Dedes.

Dengan sedikit paksaan, Wisnuwardhana mau diajak ke rumah sakit oleh Anusapati. Mereka saling berboncengan menuju rumah sakit. Di mana Anusapati bersama Arok dan Wisnuwardhana bersama Tohjaya. Sebelum pergi, Anusapati sempat berpesan pada Wisnuwardhana untuk tidak melakukan sesuatu yang berbahaya pada Tohjaya.

"Pengecut lo semua!" Gutama berteriak sesaat setelah Anusapati dan yang lain pergi meninggalkan tempat itu.

"Di antara semua orang yang ada di sini, kau yang paling pengecut," cetus Kertanegara. Ia lalu menarik rambut Gutama dan menggoreskan pisau tajamnya ke leher cowok itu.

Pemandangan itu seketika membuat Dedes menghentikan langkah. Ini kali pertama ia melihat Kertanegara seperti itu.

"Katakan kau siapa dan apa tujuanmu melakukan ini? Atau pisau ini akan menghabisi nyawamu."

Pisau itu menggores semakin dalam seiring diamnya Gutama. Terdesak, ia memberikan gerakan isyarat agar Kertanegara menghentikan perbuatannya.

"Oke, gue jujur. Mengenai Eka Prasetia Amerta, kalian tahu, kan? Kutukan akan terus menghantui kalian. Karena apa? Sama seperti kalian, gue juga memiliki hubungan keturunan jauh dengan Tunggul Ametung. Sampai kapan pun, kalian gak akan lepas dari kutukan Tunggul Ametung. Kalian akan terus gue teror." Gutama memberikan penjelasan disertai tawa nyaring.

"Kamu salah, Gutama. Kutukan itu bisa dipatahkan, asal kami bersatu. Kamu pun juga bisa lepas dari bayang-bayang Tunggul Ametung. Aku dan teman-teman tidak keberatan jika kamu mau bergabung dengan kami."

Penurunan Dedes seketika membuat Gutama tertawa. Bahkan, lebih keras dari sebelumnya.

Bersambung...

Eka Prasetia Amerta 2: Kartika Candra [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang