Penantian 7

11 7 0
                                    

"Menurutmu, pernikahan itu apa?" Sepertinya, aku perlu mengorek beberapa hal tentang pandangannya terkait pernikahan, berumah tangga, dan sejenisnya. Bagiku, ini sangat penting ditanyakan saat ada seseorang yang berniat melamar.

"Sesuatu yang dibangun berdua. Aku dan kamu. Buat bareng-bareng mendapatkan rido Tuhan. Biar sama-sama bangun istana di surga-Nya."

Alasannya cukup klasik, tapi lumayan. Dia menempatkan wanitanya bukan sebagai pengikut, tetapi kawan yang mau bekerja sama mencapai sesuatu.

"Apa kamu mengagungkan keperawanan seorang wanita?"

Dia menyandarkan punggung di bahu bangku. Mendongak lantas kembali menyugar rambut. "Keperawanan memang penting, tetapi seorang pria perlu bijak menanggapi saat tahu wanita yang dia nikahi sudah enggak perawan. Di sini pentingnya komunikasi sebelum melanjutkan proses. Sebisa mungkin, kedua belah pihak harus saling terbuka dengan apa-apa yang pernah terjadi. Kalau sampai wanita itu hilang keperawanan, pasti ada musababnya, to? Hilang secara sengaja atau enggak. Itu yang perlu digarisbawahi."

"Kalau hilangnya enggak disengaja?"

"Itu bukan hal yang perlu dipermasalahkan. Terlebih saat aku tahu wanita macam apa yang kunikahi. Aku bisa menjaminnya bahwa dia wanita baik-baik." Pria itu menoleh. Cengiran lebarnya kembali menampakkan gigi gingsul di sebelah kanan.

"Jangan berekspektasi tinggi terlebih saat kamu belum terlalu mengenalnya."

Perlukah kuingatkan seberapa dekat kami saat masih berstatus sebagai pelajar SMANJA? Jangankan sering main bersama, mengobrol saja jarang sekali. Bisa dihitung jari untuk kami pernah saling berkirim pesan. Sangat tidak dekat dan bisa-bisanya dia sok tahu begitu?

"Aku bisa mencari tahu tentangmu dari orang-orang di sekelilingmu. Ada Diana dan Aryani yang bisa kutanyai, bukan?"

Dua nama yang dia sebutkan memang sangat dekat denganku. Meski hanya kepada Diana semua rahasia paling borok kuceritakan. Wah, jangan-jangan sebelum mengutarakan isi hati, dia sudah konsultasi dulu dengan Diana. Itu sebabnya, ocehan di grup kemarin seolah-olah kode.

"Seberapa penting kehadiran anak dalam sebuah rumah tangga?"

"Kamu sedang ngetes?"

"Aku cuma ingin tahu bagaimana pendapatmu." Dengan begitu, aku bisa menilai visi dan misinya melamarku.

"Anak itu rezeki. Dikasih ya diterima. Enggak pun jangan menyalahkan. Dikasih ya dididik dan dikasihi dengan baik, semaksimal mungkin. Enggak ya enggak perlu menggugat kuasa Dia. Toh pada akhirnya nanti, pada masa tua, kita akan lebih banyak bersama pasangan."

"Itu kalau sampai tua bareng-bareng. Kalau salah satu meninggal duluan? Kalau bukan dengan anak, mau dengan siapa?"

"Kita bisa nyewa pengasuh atau seenggaknya cari orang kepercayaan untuk bantu mengurus. Lagi pula, anak yang kamu maksud itu harus anak kandung, 'kan?"

Aku mengangguk.

"Kalau enggak dikasih anak kandung, ya kita bisa angkat anak, to? Ada banyak bayi di luar sana yang kurang beruntung. Kita bisa ambil satu, dua, atau sebanyak yang kita mampu."

Aku terenyak beberapa detik. Jawaban-jawaban Teja serupa dengan jawaban-jawaban pria ketiga yang pernah kutanyai hal yang sama. Apa cara berpikir semua anak bontot memang begitu?

"Ketika kamu menikah dan wanitamu ingin tinggal terpisah dari orang tuamu, apakah kamu menyanggupi?"

"Ini agak sulit, sih." Dia terkekeh pelan. "Kamu tahu sendiri. Aku anak bungsu. Kedua masku sudah menikah dan masing-masing memiliki rumah. Ibu dan Ayah cuma tinggal berdua. Mereka sudah berharap kalau aku menikah nanti, istriku mau diboyong ke rumah mereka."

MewujudTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang