Penantian 2

20 8 0
                                    

Seperti yang telah disepakati, pengumpulan biaya reuni akan mulai dimintai pada hari Minggu. Hanya pada hari itu, aku dan dia libur mengurusi pekerjaan.

Dia janji akan menjemput pukul sembilan. Tidak yakin akan datang tepat waktu mengingat track record-nya saat masih menjadi seorang siswa. Paling suka nongol lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Dalam pertemuan-pertemuan tak formal semacam membenahi kelas untuk urusan lomba HUT ini atau itu, dia selalu datang paling belakang. Jam karet parah.

Dering ponsel datang sepuluh menit sebelum waktu yang dijanjikan. Bukan dari dia, melainkan teman semeja yang sudah menjadi sahabatku belasan tahun. Aku menduga, dia akan membahas hal yang kemarin-kemarin muncul di grup. Meski malas, aku tak bisa mengabaikan panggilannya. Ya, apa boleh buat.

"Hm?" Hanya itu sapaan pembuka dariku.

Di seberang panggilan, suara cemprengnya malah tertawa. "Cielah, Ibu. Gimana? Gimana? Enggak pingsan karena mau diajak jalan berdua sama si yang pernah ditaksir, 'kan?"

Aku bisa membayangkan betapa puas wajahnya saat ini. "Enggak usah ngeledek."

"Loh, siapa yang ngeledek? Aku nanya, loh."

"Pertanyaan yang enggak berguna."

"O, ayolah, Raya! Barangkali ... ini barangkali, loh. Siapa tahu apa yang terjadi hari ini akan jadi pintu pembuka untuk hubungan kalian."

"Memangnya apa yang akan terjadi hari ini? Aku dan Teja cuma bertugas nagihin duit ke kalian."

Dia sudah emak-emak. Sudah kebanyakan nonton drama Ikan Terbang yang ceritanya malah terkesan lebay. Jadi terpengaruh.

"Raya, Raya." Dia terkekeh. "Kamu ini kan cerdas. Masa enggak nangkep kode yang dia lempar di grup kemarin?"

"Kode?"

"Coba, deh. Coba kamu baca balasan-balasan chat dia ke kamu."

"Enggak ada yang aneh." Aku tahu apa maksudnya. Hal yang juga segera kutepis agar tidak menyalakan harap.

"Ngeles mulu lu mah, Bu. Kayak bajaj Jakarta."

Terdengar derum sepeda motor berhenti di depan rumah. Lewat jendela, aku mengintip. Sudah kuduga. Dia yang datang. Saat menengok jam duduk di atas meja kerja, aku menghela napas samar. Masih tidak berubah. Dia datang sangat mepet. Lima menit sebelum waktu janjian.

"Udah, ya. Enggak usah nyangka macem-macem. Jangan kebanyakan nonton drama romance picisan yang lebay, deh."

"Aku berani jamin. Akan ada yang berubah di antara kalian setelah ini. Ngapain coba dia ujug-ujug ribut di grup kelas terus ngusul buat ngadain reuni?"

"Ya, barangkali dia rindu kumpul-kumpul."

Sebuah ketukan mampir di pintu kamar.

"Nduk, ada temennya dateng. Katanya, kalian sudah janjian."

"Iya, Ma. Bilang tunggu sebentar. Aku lagi terima telepon." Aku menyahut tanpa membuka pintu. "Orangnya dateng. Tutup panggilannya. Pas aku nagih nanti, enggak boleh pake utang. Enggak boleh pake minta kembalian. Awas aja."

Dia lebih dulu tertawa sebelum panggilan benar-benar ditutup. Kawanku yang satu itu memang paling getol untuk menggoda kalau sudah berkaitan dengan kisah masa lalu.

Kuraih sling bag yang tersampir di belakang pintu lalu memasukkan ponsel ke salah satu saku. Mematut sebentar di depan cermin lemari untuk memperbaiki tampilan. Celana kulot panjang dipadukan blus berlengan panjang dari bahan wolfis tampak tidak berlebihan. Cukup sopan.

Dia menunggu di sofa ruang tamu. Saat aku menghampirinya, pria itu memamerkan senyum lima jari. Menampakkan gingsul di jejeran gigi sebelah kanan. Apa kata kawan semejaku dulu? Salah satu pesona yang dimiliki pria bertubuh sangat jangkung itu adalah gigi gingsulnya. Jika tersenyum, dia akan terlihat semakin manis.

Ya, bisa dikatakan aku juga setuju dengan pendapat teman semejaku itu.

"Seenggaknya, enggak ngaret parah." Aku menyelidik tampilannya.

Setelan kemeja garis-garis putih dan cokelat berpadu celana bahan dengan bagian ujung kaki agak gombrang--juga berwarna cokelat tua. Style mas-mas yang mau kondangan.

"Predikat tukang ngaret emang udah nempel banget ya sama aku."

"Memang milikmu."

Kami tak banyak berbasa-basi. Setelah pamit ke Mama, aku segera mengajaknya untuk menuntaskan tugas. Lebih cepat tuntas maka lebih cepat urusan yang melibatkan pria ini selesai. Kalau bisa, sehari itu urusan tagih-menagih iuran reuni harus selesai agar tidak ada agenda menjadi bendahara jilid kedua.

***

MewujudTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang