Penantian 4

10 8 0
                                    

Sebelum mengetuk, pintu rumah perempuan itu lebih dulu terbuka. Wajahnya semringah seperti baru dapat bonus bulanan dari sang suami. Belum lagi, senyum-senyum begonya membuatku ingin melayangkan buku tagihan iuran ke kepala perempuan itu.

Namanya Diana Prameswari. Aku lebih sering memanggilnya Di saja. Sudah punya dua anak. Yang sulung, perempuan, bernama Kamila, sedangkan si bungsu, laki-laki, bernama Khair.

"Gimana nge-date-nya? Sukses?"

Aku benar-benar melayangkan tabokan ke bokong perempuan itu. Bukan tersinggung, dia malah tertawa.

"Duduk dulu. Biar aku buatin minum."

Aku dan Teja menurut. Kami duduk di sofa berlainan.

"Kamila, Khair! Ada Aunty Raya, nih. Ada Om Teja juga."

Tidak perlu dipanggil dua kali, dua bocah berperawakan tinggi berusia tujuh dan empat tahun berlarian ke arahku.

"Aunty Ra!" Tanpa segan, keduanya langsung menghambur ke pelukan. Memang, aku cukup sering mampir ke rumah Di. Makanya, mereka tidak asing dengan keberadaanku.

"Kenapa baru main sekarang, Aunty?" Bocah perempuan bermata bulat menatapku.

"Baru sempet, Sayang. Ini juga karena nagih utang ke Bunda."

"Eh, sembarangan!" Perempuan itu kembali dengan baki berisi dua gelas minuman dingin berwarna kecokelatan. Sepertinya teh. Diletakkannya masing-masing di hadapanku dan Teja. "Aunty ke sini mau minta kita buat jadi saksi pernikahannya nanti, Mil."

"Kamu yang ngomongnya sembarangan. Memang siapa yang mau menikah, heh?" Aku memelotot. Bisa tidak dia tidak bicara ngawur di depan anak-anak?

"Wah, serius, Bunda? Aunty Raya mau menikah?"

Bukannya mengklarifikasi kebenaran, dia makin menjadi-jadi berbohong. "Iya, Sayang. Tuh, sama Om itu."

Kugeplak tangannya yang menunjuk ke arah Teja. Bukan menolak atau mengklarifikasi, Teja malah tertawa. Tidak tersinggung sama sekali dengan gurauan mantan kawan sekelasnya.

"Enggak usah bicara yang aneh-aneh." Kalau saja tidak ada anak-anak, sudah kusumpal mulut embernya dengan bantal sofa.

"Aminin aja, Raya. Siapa tahu kita beneran jodoh."

Aku mendelik tajam ke arah Teja. Ya ampun! Dua orang ini kenapa?

"Tuh, yang pria udah mau. Tinggal yang wanita, nih."

"Agak sulit memang naklukin wanita macam dia, Di."

"Mana duitnya? Kelamaan di sini bisa-bisa makin ngawur otak kalian berdua."

Mantan kawan semejaku itu kembali tertawa sambil mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari sling bag yang tergeletak di atas nakas dekat sofa. Aku segera mengambilnya; mencatat namanya di buku tagihan. Tidak lupa meminta dibubuhkan tanda tangan.

"Ayo langsung pulang, Yo! Kelamaan di sini, bisa digoreng terus sama dia." Aku beranjak. "Aunty pulang, ya. Kapan-kapan nanti ke sini lagi." Kuciumi satu per satu bocah itu.

"Oke, Aunty. Hati-hati."

Sambil diapit Kamila dan Khair, Diana mengantar kami sampai di ambang pintu.

"Pamit, Di." Teja yang bicara.

"Iya, Mas. Hati-hati. Jangan lupa! Buruan diajak bicara biar enggak kesela orang lain lagi." Kikikannya sangat menjengkelkan.

"Pasti, Di. Jangan buang-buang kesempatan selagi ada!"

Aku melirik Teja yang kebetulan juga melirikku. Senyum bergingsulnya muncul. O, astaga! Apa yang sedang mereka rencanakan?

Ah, sudahlah! Makin ke mana-mana dugaanku kalau menyahuti obrolan mereka.

Teja menyalakan mesin. Aku segera duduk membonceng di belakangnya. Setelah melambaikan tangan kepada Diana dan dua bocah di depan pintu, Teja melajukan kendaraan keluar halaman; keluar perumahan. Namun, arah kendaraan tidak ke jalan seharusnya. Dia mengambil arah lain yang jelas-jelas bukan arah rumahku.

"Kok, ke arah sini?" tanyaku dengan suara keras.

"Ada yang mau aku omongin. Kita cari tempat yang nyaman buat bicara."

***

MewujudTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang