Penantian 5

11 9 0
                                    

Perasaanku mulai aneh. Malah sejak saling sahut perbincangan lewat chat beberapa hari lalu. Yang paling nyambung sih Diana dan Teja. Entah apa yang sudah mereka bicarakan, tetapi seolah-olah itu berhubungan denganku.

Aku menghela napas. Berusaha menghalau segala pikiran negatif. Mungkin yang ingin dibicarakan Teja--aku memanggilnya Tyo karena nama lengkap pria ini adalah Teja Kusuma Prasetyo--masih berkaitan dengan acara reuni.

Pria itu membawa kendaraan memasuki halaman taman kota. Tak banyak pengunjung. Hanya beberapa muda-mudi dan pedagang gerobakan di sekitarnya. Dia memarkir matic hitam di dekat penjual cimol.

"Ayo!"

Aku menyilakannya untuk berjalan lebih dulu. Entahlah. Aku memang lebih nyaman berjalan di belakang daripada di depan pria.

Dia membawa langkah kami ke salah satu bangku panjang di sebelah utara taman. Tidak banyak pengunjung di sana. Hanya ada dua remaja perempuan sedang membaca buku. Yang satu baca fiksi, satu lagi buku sejarah. Asyik sekali mereka. Bisa-bisanya membaca bersama di taman yang biasanya ramai pengunjung.

O, tidak juga. Spot mereka agak tersembunyi. Mereka tetap bisa membaca dengan nyaman. Ada beberapa bekas bungkus camilan dan minuman kemasan di dekat kedua gadis itu.

Kembali ke kami. Aku dan Teja duduk bersisian dengan jarak setengah meter. Kedua tanganku saling meremat untuk meminimalisir gugup. Ya, meski usia sudah memasuki 29 tahun, tetap saja. Bisa dibilang, aku adalah makhluk yang jarang berinteraksi dengan pria. Mengobrol bersisian semacam ini, kejadiannya, bisa dihitung jari.

"Aku sudah baca surat dan buku yang kamu kirimkan empat tahun lalu."

"Ooo."

"Tapi, baru aku baca dua tahun lalu."

"Ooo." Aku bahkan tidak berekspektasi kalau dia mau membaca surat apalagi bukunya.

Bukankah dia sangat sibuk dengan segala tetek bengek rapat-rapat sebagai pengajar di sebuah sekolah menengah atas? Tentu saja. Membaca surat dan buku dari teman lama yang tak seberapa dekat bukanlah sesuatu yang perlu dikerjakan segera. Bisa nanti-nanti kalau sedang tak sibuk.

"Aku enggak pernah sangka kalau kamu menyukaiku selama itu, Raya."

Aku saja tidak pernah terpikir akan menyukai seorang pria begitu lama dan dalam semacam itu. Andai bisa memilih, aku bahkan tidak mau menyukainya. Namun, perasaan yang tumbuh tak pernah bisa direncanakan. Tiba-tiba saja suka. Tiba-tiba saja merindukannya. Sudah hukum alamnya begitu.

"Bodohnya aku malah enggak pernah sadar. Malah sibuk mengejari wanita-wanita yang salah."

"Mereka enggak salah." Aku perlu meluruskan. "Kamu saat itu masih muda, Yo. Masih penasaran dengan berbagai sikap dan sifat seorang gadis. Masih mencari kecocokan satu sama lain."

"Apa hanya aku yang kamu cintai selama itu?" Dia menoleh.

Duh, bisa tidak wajahnya tak perlu menatapku begitu?

"Enggaklah. Ada beberapa sebelum dan sesudahmu." Ya, tidak bisa disebut beberapa juga. Kok, kesannya banyak amat.

Sebelum bertemu Teja, aku pernah pacaran satu kali. Ya, tidak suka-suka amat, sih. Kepalang tidak enak saja karena cowok itu menembakku di hadapan kawan-kawannya. Kedua adalah Teja. Berlangsung selama beberapa tahun walau hanya sekadar menyukai diam-diam. Setelahnya ... ah, sudahlah. Ini sebenarnya tak mau kubahas. Bahkan rasanya jauh lebih menyakitkan dari polemik cinta diam-diam kepada Teja.

Banyak rencana besar yang ingin kubangun dengan pria setelah Teja. Obrolan tentang kehidupan rumah tangga. Hunian idaman seperti apa yang kami mau. Rancangan parenting seperti apa yang akan kami kelola untuk anak-anak. Pembicaraan yang indah dan menyenangkan. Namun, Tuhan tak mempertemukan kami di jalan yang sama. Lima tahun berkomitmen, tak pernah menemukan rezeki untuk segera berakad. Pada akhirnya, kami berusaha melepas satu sama lain untuk menjemput takdir yang mungkin ada bersama orang lain.

Ya, semacam itu kisahnya. Cukup sakit, tetapi aku sadar begitulah proses hidup. Setelah dengan pria ketiga, aku belum sempat untuk jatuh cinta lagi. Masih cukup trauma. Takutnya, kembali bertemu dengan orang yang salah.

"Seberapa banyak?"

"Sebelum denganmu satu orang. Sesudah denganmu pun satu orang. Setelahnya, enggak ada."

Dia terkekeh sebentar. "Kamu memang benar-benar wanita istimewa, Raya."

"Jangan bergurau! Atau, itu caramu menarik perhatian seorang wanita?"

Dia malah tergelak sekarang. "Jadi, sekarang kamu kosong?"

"Memangnya aku ember yang bisa kosong dan diisi?"

Dia lagi-lagi tergelak. "Oke, oke. Maksudku, kamu lagi enggak menjalin komitmen dengan siapa pun sekarang?"

Aku menggeleng pelan. Kutatap langit menjelang petang. Semburat keemasan mulai muncul di kaki barat. Sejujurnya, meski kukatakan faseku adalah kosong, aku masih berharap bahwa pria ketigaku bisa kembali. Dia datang menunaikan janji tujuh tahun lalu. Dua tahun belakangan, aku berjudi dengan nasib. Siapa tahu, jeda yang kuberikan selama dua tahun itu cukup untuknya mengumpulkan modal. Namun, lagi-lagi tak ada kabar darinya perihal ini. Statusnya masih sama seperti terakhir kali kami sepakat saling melepaskan.

"Aku sudah memikirkan ini selama dua tahun terakhir, Raya."

"Soal?"

"Aku ingin melamarmu. Menikahimu."

***

MewujudTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang