0. 0. 1.

25 3 0
                                    

0. 0. 1. "Berperilakulah selayaknya manusia yang berpijak di atas tanah-Nya. Tidak semestinya untuk kamu lupa siapa kamu sebenarnya. "

🌟 Jangan lupa pojok kirinya, sweetie.

📆 Time update: Sabtu, 10 Juni 2023.

🖇️ Join in Instagram: its.sfniii

sfniii

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Iris sejernih bunga clematis terbungkus rapi bersembunyi di balik kelopak yang menyayu. Menatap satu objek dengan intens, pikirannya berkecamuk liar berandai-andai. Anakan sungai kembali tercipta.

Kelopak matanya memberat pertanda kantuk tengah merayap, Ia sangat lelah, hari ini terasa begitu panjang. Menutup buku bersampul rumusan tidak jelas tersebut dan kembali dimasukannya ke dalam tas sekolah untuk esok hari.

Sinar bulan masuk melalui celah-celah jendela yang sengaja tidak gadis itu tutup rapat. Kerlipan yang berasal dari lampu tumbler, beserta alunan lembut tuts piano yang berasal dari mini box di atas nakas menjadi suasana terakhir yang gadis itu rasakan setiap malam, sebelum gadis itu terlelap.

Kelopak indahnya perlahan terpejam yang disertai dengkuran halus beberapa saat kemudian yang menandakan bahwa sang gadis telah menjelajah ke alam bawah sadarnya.

Pintu berderit pelan, suara tapakan kaki yang melangkah dengan hati-hati memasuki tempat dimana sang gadis yang tengah bergelung nyaman di bawah selimut tebalnya.

Berjalan ke arah jendela, menutupnya dengan pelan agar tidak menimbulkan bunyi sedikitpun, dan menghentikan alunan tuts piano yang ia tahu menjadi pengantar tidur gadis tersebut.

Senyum tipisnya terukir, mengusak rambut sang gadis. "Nice dream, Princess," ucapnya sebelum mengecup lama kening, dan kembali berjalan keluar setelah memastikan si gadis yang ia panggil dengan sebutan 'princess' tertidur dengan nyenyak.

***

Pandangan gadis itu jatuh pada pantulan dirinya di cermin, seragam putih abu-abu yang terbalut cardigan hitam melekat pada tubuh rampingnya. Dengan name tag yang tersemat rapi di dada sebelah kanan bertuliskan Albina Auristela A.

Menuruni anak tangga satu persatu dengan semangat. Netranya tejatuh pada sosok pria paruh baya yang duduk seorang diri di kursi santainya, membaca koran sesekali mengangguk membenarkan berita yang ia baca pagi ini, sembari menyesap kopinya perlahan.

Menyadari ada yang mendekat, pria yang sudah menginjak kepala empat tersebut mendongak, tersenyum kecil.

"Kemarilah." Tangannya melambai sejenak lalumenepuk kursi kosong di sebelahnya. "Bersemangat sekali. Ada apa? " lanjutnya.

Gadis itu hanya menanggapinya dengan senyum tipis. Mengecup pipi Miko, lantas berucap, "Bina berangkat." Berjalan ringan tanpa menjawab pertanyaan sang Ayah. Menuju garasi dan memasuki salah satu kereta besinya, kemudian melesat menembus jalan lenggang pagi hari.

Cukup ramai, sepanjang koridor gadis yang menyebut dirinya sebagai Bina merespon sapaan siswa dan siswi yang berpapasan dengannya, dengan senyum ramah andalanya.

11 Mipa 2, tempatnya belajar dengan teman sebayanya. Bina berjalan menuju bangku deret kedua nomor tiga. Bangku di sampingnya masih kosong, berarti sahabatnya belum juga datang, tumben.

***

"Belajar cuma buat popularitas, pantes bego mulu! "

Cemooh merendahkan dari seorang pemuda membuat Bina yang tengah meliukkan jemarinya di atas kertas putih berhenti begitu saja. Benar-benar berhenti dan tidak berusaha untuk melihat siapa yang berada di depannya. Karena Bina tahu betul siapa pemilik suara tajam itu.

"Cih, cewe penyakitan aja belagu, dasar kuman! "

Sesaat pemuda itu meninggalkan taman yang disinggahinya, baru lah Bina mengangkat pandangan, menatap nanar punggung tegap milik sang pemuda. Sesuatu dalam dadanya kembali berdenyut sakit, sesak menjalar memenuhi rongga.

Menengadahkan wajah sembari mengedip-edipkan mata, sesuatu yang hendak keluar sebisa mungkin ditahannya. Menghela nafas pelan sembari memejamkan mata, menyurutkan emosi yang merambat naik.

Jam pulang kali ini terasa berbeda, begitu sunyi tanpa adanya kehadiran kedua sahabatnya. Entah, ia tidak diberitahu apa alasan mereka absen di waktu bersamaan seperti ini.

Kakinya melangkah tanpa arah menelusuri lorong sekolah yang telah sepi, matanya mengedar memperhatikan sekeliling. Hanya tersisa segelintir anak ekskul yang kebetulan sedang berlatih di penghujung hari.

Sayup-sayup rungunya menangkap suara isak tangis dari toilet perempuan, kakinya melangkah lebih cepat, isi tempurungnya sudah tidak singkron, berpikir yang tidak-tidak. Tapi apa ada yang suka menampakan diri di siang bolong, pikirnya.

Kakinya berhenti melangkah, menghela nafas panjang untuk mengendalikan diri serta menormalkan detak jantung yang semakin menggila. Kemungkinan-kemungkinan buruk kembali terngiang di tempurung tentang; wajah super duper buruk rupa; mata melotot keluar; bibir tersenyum joker; dan tangan yang berlagak akan mencekiknya.

Tidak-tidak, segera ia tepis bayang-bayang sialan itu. Pintu yang tertutup rapat menambah kesan horror, memberanikan diri untuk lebih dekat, sekuat tenaga ia menendang kuat pintu cokelat di depannya dan ....

***

Bersenandung pelan, di saat-saat ini lah ia bisa menikmati suasana sekolah, sunyi dan sepi. Kedua sudut bibir pemuda berkacamata itu melengkung ke atas, pancaran binar bahagia terlihat jalas di kedua netranya. Dengan segera ia mempercepat langkah, sepuluh langkah berada di belakang si objek, ia dapat melihat jelas semua gerak-geriknya.

Sebenarnya ia heran, mengapa gadis itu berjalan sangat pelan atau tiba-tiba begitu cepat, apakah ada yang salah di depan sana? Atau gadis itu mau memergoki seseorang yang sedang melakukan perbuatan tidak senonoh di toilet perempuan? Atau apa? Semua opini yang bersarang di tempurungnya seketika buyar ketika mendengar suara dobrakan pintu yang amat kuat.

Matanya terbelalak, shock dengan perbuatan gadis di depannya. Ia jadi khawatir apa yang gadis itu lakukan sendirian di dalam sana, apalagi saat melihat sang gadis ketakutan saat masuk ke dalam toilet seorang diri.

Melangkah mendekat, persetan dengan kemungkinan kepergok yang semakin besar, ia hanya ingin memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja setelah aksi heroiknya menendang pintu sekuat tenaga.

"Mereka membenciku karna aku gadis beasiswa. "

Nyatanya hanya itu yang bisa didengarnya, sejurus kemudian hanya terdengar isak tangis dan suara melengking milik ... BINA?!

Apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam sana?

***

📮 Tinggalkan pesan untuk para tokoh, di sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


📮 Tinggalkan pesan untuk para tokoh, di sini.
📝 Tinggalkan kritik dan saran, di sini.
😘 Tinggalkan kecupan manis untuk Pi, di sini. Kiw. ^^

EDELWEISSTINKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang