0. 0. 2. "Langkah kaki yang terasingkan tidak di peruntukkan bagi mereka yang asing. "
🌟 Jangan lupa pojok kirinya, sweetie.
📆 Time update: Selasa, 13 Juni 2023.
🖇️ Join in Instagram: its.sfniii
***
"Bin, lo tau nggak katanya ada murid baru lho hari ini?! "
"Ih liat tuh ada cogan! "
"Wah bening banget, ada tahi lalat di bawah hidungnya."
"Manis banget."
"Imut banget yang pake kacamata."
Rasanya Bina ingin mengubur Dira hidup-hidup. Matanya berkilat tajam. Jika saja ia sedang berada di scan komik, sudah pasti matanya mengeluarkan cahaya laser yang siap membelah apa saja yang berada di sekitarnya.
Sedangkan Dira sendiri sudah sangat tahu arti tatapan Bina-sahabatnya itu terganggu dengan ocehannya. Sengaja ia mengacaukan fokus Bina yang sedang asik dengan pacar-pacarnya, buku.
Sudahlah, Bina tahu sekarang bahwa; Dira kebosanan menantinya yang tengah menyelesaikan acara belajarnya; bahkan sekadar bicara pun tidak ia tanggapi.
"Silahkan dinikmati. "
Sedangkan di sisi lain Dira yang tengah kebosanan dengan sengaja menempelkan pipinya di meja, sesekali membolak-balikannya mencari sensasi dingin yang berasal dari meja kemudian menjalar pada pipi, segera mengangkat kepala dirasa pesanan yang ketiga kalinya datang. Bina yang masih sibuk berkutat dengan bukunya menggeleng-gelengkan kepalanya takjub sekaligus heran.
Tapi, tunggu. Sepertinya Bina mengenali suara bariton tersebut. Lipatan dahi Bina semakin bertambah tatkala melihat pemuda jakung yang berdiri di samping mejanya mengulas senyum tipis.
Pemuda berseragam waiters dengan topi hitam bertengger di tempurungnya mengambil alih atensi Bina. Ia tidak asing dengan pemuda tersebut, namun nyatanya Bina tidak ingat apapun tentang pemuda di depannya.
"Lo kenapa dah? "
Sepertinya Dira juga keheranan saat melihat Bina memelototi waiters yang baru saja menghampiri meja mereka guna mengantarkan pesanan. Memicingkan mata lalu berucap, "Jangan bilang lo naksir sama dia?! "
***
Gelak tawa mengalun merdu di rungu saat Bina baru saja menginjakkan kakinya di teras rumah, suasana hangat tergambar jelas meski tanpa kehadirannya. Menghiraukan dan memilih melanjutkan langkah.
"Pantes aja Bunda nggak mau punya anak perempuan, ternyata gini kelakuannya. Nggak tau sopan santun. "
Bina tahu betul ucapan pedas tersebut tertuju padanya, namun, ia memilih acuh.
Sudahlah ia tidak ingin peduli sekarang, raganya terlalu lelah sekadar menanggapi ucapan Biru-saudara sekaligus adik kembarnya. Melempar tas asal, mencuci wajah dan membanting tubuhnya ke atas kasur queen size-nya.
***
"Dia sudah pulang dengan selamat, Tuan. "
"..."
"Baik, Tuan. "
***
"Dasar anak pemalas! " desisnya geram. Sedetik kemudian Vania beranjak menuju kamar mandi yang berada di kamar tersebut. Satu gayung air ia tumpahkan tepat di atas wajah gadis yang sedang terlelap nyaman, sedangkan Bina langsung terduduk dengan batuk pelan akibat air yang masuk melalui hidungnya.
Masih dengan wajah linglung, Bina melirik pakaian dan seprei yang sekarang menjadi basah akibat siraman air dingin yang berasal dari Vania. Mengerjapkan matanya pelan, perih di mata serta hidungnya belum sepenuhnya hilang.
"Pemalas. Lihat kakak dan adikmu, mereka belajar dengan giat untuk mempersiapkan ujian bulan depan. Kamu malah enak-enakan tidur begini, dasar anak tidak tahu diri. " Intonasinya meningkat satu oktaf.
Ah, Bina tahu sekarang apa penyebab Vania marah besar. Dengan lemas Bina berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, mengganti pakaian dengan kaos hitam oversize dan celana pendek di atas lutut.
Dengan segera Bina mengambil beberapa buku paket yang baru saja ia pinjam kemarin dari perpustakaan dan mulai berkutat. Namun ada yang aneh dengan dirinya, ia masih saja memikirkan kejadian siang tadi di Cafe Pelangi saat dirinya tidak sengaja bersitatap dengan pemuda yang menurutnya sangat familiar di ingatannya.
Sudahlah, mungkin Bina hanya terlalu banyak pikiran jadi melantur kemana-mana dan mengira sudah kenal dekat dengan pemuda tersebut. Beberapa jam terlalui dengan sunyi, rembulan pun semakin meninggi, pertanda malam tengah merajai.
Namun tidak dengan Bina, ia sampai lupa waktu untuk mengistirahatkan diri, mengingatkan bahwa masih ada hari esok yang harus ia hadapi. Sampai perutnya berbunyi minta diisi, baru ia beranjak pergi.
Gelap. Sudah dipastikan penghuni rumah sudah terlelap, menuju dapur dan membuka lemari, kosong. Kulkas pun kosong, hanya tersisa bahan mentah yang belum diolah.
Nasib, nasib.
Sebenarnya mudah untuk dirinya memasak, namun sudah tengah malam, ia tidak mau membangunkan seluruh orang dengan suara grasak-grusuk akibat peperangan antara peralatan dapur.
Pasrah, Bina hanya meminum air dingin untuk mengganjal perut sampai pagi tiba.
Tanpa Bina sadari, seorang pemuda berdiri tidak jauh darinya menatap dengan pandangan sendu. Sedari dulu ia ingin sekali mempunyai adik perempuan, namun Vania selalu mengatakan jika anak perempuan itu menyusahkan dan pembawa sial. Dan yang lebih sialnya lagi, ia mempercayai hal itu.
***
Koridor sangat ramai, lima menit lagi bel pasti akan berbunyi nyaring. Sedangkan seorang gadis dengan ransel tosca berjalan sesekali berlari untuk menuju kelasnya yang berada di lantai dua gedung selatan.
Bina terlambat bangun, ia lupa bahwa jam yang selalu berteriak nyaring pagi-pagi buta miliknya butuh perbaikan. Jangan tanya kemana Vania atau siapapun yang berada di rumah, hal kecil namun begitu mustahil. Jika pun ada gempa melanda, Bina yakin mereka lebih mementingkan kedua putranya ketimbang putri satu-satunya yang tidak pernah dianggap ada.
"BINA! "
***
📮 Tinggalkan pesan untuk para tokoh, di sini.📝 Tinggalkan kritik dan saran, di sini.
😘 Tinggalkan kecupan manis untuk Pi, di sini. ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
EDELWEISSTINKA
ChickLitTerlahir dalam sebuah keluarga yang tidak menginginkan keberadaan seorang anak perempuan bukanlah suatu hal yang diimpi-impikan oleh Bina, pun dengan kondisi tubuh yang berbeda dengan yang lainnya. Dituntut menjadi lebih di saat tidak adanya dukunga...