Tiar berjalan dibelakang dokter yang memeriksa haikal tadi. Tiar merasakan perasaan yang tidak enak, entah kenapa dia merasa takut? Entahlah.
"Jadi, dok. Apa terjadi sesuatu pada adik saya?" Tanya tiar saat sudah dipersilahkan duduk.
Dokter dengan name tag Jovan menghela nafas berat. "Untuk luka pukulan pada punggngnya bisa dibilang parah, itu mungkin akan sedikit beresiko pada kegiatan sehari-harinya, jadi disarankan untuk tidak melakukan aktivitas berat terlebih duahulu,"
Jovan melepas kacamata yangg bertengger dihidungnya, matanya menatap lekat tiar. "Sebelumnya saya mohon maaf bila terkesan tidak sopan. Tapi apakah selama ini Haikal mendapat kekerasan? Saya menemukan banyak bekas luka ditubuhnya,"
Tiar tergelak, dirinya tiba-tiba merasakan kegelisahan yang luar biasa. "Ah? Hm, itu. dia korban bully. Iya begitu!" Jawabnya gugup. Matanya mencoba menghindari tatapan sinis dari dokter Jovan.
pembohong!
"Begitu? Lalu apa anda sebagai kakaknya tidak berbuat sesuatu?" Mata Jovan menyipit.
Tiar tersenyum paksa. "Oh, dia tidak pernah mau kalau kami ingin bertindak. Haikal selalu berkata bahwa dia bisa mengatasinya sendiri,"
bulshit!
Jovan mengangguk mencoba percaya, walaupun hatinya berkata lain. "Baiklah. Saya mengira bahwa haikal anak broken home. Tadinya saya kira haikal mendapat kekerasan dari keluarganya sendiri, mohon maaf sudah salah sangka,"
Tiar tersenyum, mengangguk. "Tidak apa dokter. Lagipula, kami begitu menyayangi haikal tidak mungkin kami berbuat kasar padanya,"
munafik!
"Baiklah tuan Tiar, ini resep yang harus anda tebus untuk haikal. Saya sarankan anda lebih memperhatikan anak itu, dia terlihat kesepian,"
Tiar terdiam sejenak. Sesaat kemudian dia mengangguk. "Ah, baik dokter. kalau begitu saya keluar dulu. Terimakasih. Permisi," Tiar beranjak keluar meninggalkan Jovan yng masih menatap pintu.
Jovan menggelengkan kepalanya pelan. "Benar-benar menyedihkan. Anak malang,"
Tiar kembali kekamar haikal setelah menebus obat, dia menatap haikal yang masih terlelap. Jam menunjukan pukul setengah sembilan malam.
Mataya tidak lepas dari haikal yang tidur dengan tenang. Matanya yang sedikit terbuka, bibir mungil yang membulat. Pipi yang dulunya gembil, sudah berubah menjadi pipi tirus, tubuh haikal juga terlihat kurus sekarang.
Tiar menyenderkan kepalanya pada sandaran sofa. Dia kembali mengingat ucapan dokter jovan tadi.
"Saya sarankan anda lebih memperhatikan anak itu. Dia terlihat kesepian,"
"Saya menemukan banyak bekas luka ditubuhnya,"
"Anda sebagai kakaknya tidak berbuat sesuatu?"
Boro-boro! Tiar justru senang ketika melihat haikal dipukuli oleh johny, adiknya. Tapi melihat haikal menolongnya tadi membuatnya bingung Haikal yang bodoh atau bagaimana?
Tiar menghela nafas kasar. Dia memilih beranjak meninggalkan haikal yang masih enggan membuka matanya. Sebelum itu tidak lupa dia membayar biaya administrasi dahulu, sebab dia tahu haikal tidak mungkin memiliki uang, itu juga sebagai tanda terimakasih padanya karena sudah menolongnya tadi. Tiar sebisa mungkin melupakan kejadian tadi. Tidak berperikeadikan memang.
Haikal melenguh pelan, mata bulatnya perlahan terbuka. Meringis pelan merasakan punggungnya sangat sakit. Haikal menatap sekeliiing , dia menyadari bahwa kini dirinyasedang beada di rumah sakit, tapi siapa yang membawanya? Tiar un tidak mungkin, ruangan ini hanya da dirinya ssendiri. Pikir haikal.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 DAYS || REVISI
Teen Fiction|PART MASIH LENGKAP!| Haikal itu, kayak planet pluto. Ada namun tidak di anggap. #1 Of markhyuck #2 Of Wayv {8.4.24} #4 Of nctdream {8.4.24} #7 Of nct {8.4.24} #8 Of nct127 {8.4.24}