Chapter 04

19.1K 1K 4
                                    

Hari Selasa, mendung yang kemudian disusul gerimis sedemikian rupa, suasana dingin hadir di sekitar membuat siapa saja ingin berdiam diri di kamar, memeluk diri dengan selimut, menyesap susu atau minuman hangat lain dan istirahat nyenyak.

Namun, sebagai guru yang punya kewajiban mendidik, Adnan tetap masuk ke sekolah, mengajar anak-anak muridnya dan berusaha fokus dengan apa yang ada di depan mata.

Meski sepertinya ... agak sulit.

"Pak, itu ada kata yang salah." Adnan terdiam, dia menatap papan tulis, dan benar, ada yang keliru.

"Oh, maaf ya, Nak. Terima kasih sudah mengoreksi. Bapak kasih poin ke kamu karena sudah teliti." Adnan mengeluarkan senyum hangat, dan anak itu tampak gembira mendengarnya.

Namun meski tersenyum, tak lama senyum tersebut memudar kala dia menatap ke papan tulis lagi. Pikirannya amat kalut.

Dan hal tersebut, bukan tanpa alasan ....

Kemarin, saat di tempat latihan musik, di mana nyatanya Tanaya memergoki dia dan Banyu yang tengah menangis memeluknya, memohon dia jadi ayahnya ....

"Tanaya ...."

Tangisan Banyu langsung mereda mendengar suara Adnan, dia seakan menyadari sesuatu, ada orang tepat di belakangnya. Tanpa menoleh, Banyu langsung melepaskan pelukan, dia lari cepat meninggalkan keduanya begitu saja tanpa babibu.

"Ba-Banyu ...." Adnan ingin menahan, tetapi entah kenapa dia tercekat, dia menatap putri kecilnya yang masih intens menatapnya.

"Ayah, tadi ... kenapa Banyu pengen Ayah jadi Papah dia?" tanya Tanaya, dan tampaknya sedari tadi telah mendengar pembicaraan ia dan Banyu.

"Tanaya ...." Ayahnya mendekati, memegang lembut pipi Tanaya, sekelebat ingatan hadir di kepalanya. "Sayang Ayah ...."

"Mas, Mas jangan gengsi bilang sayang ke Tanaya pas dia udah gede, ya."

"Lho, kok kamu mikir begitu?" Adnan yang menggendong seorang bayi agak sewot.

Wanita itu tertawa. "Mas enggak sadar ya kalau Mas gengsian soal ngungkapin kasih sayang, Mas gak pernah, lho, bilang I love you ke aku, kecuali ditanyain, itu pun agak ogah-ogahan."

"Eh uh ... yang-yang penting kan aku ngungkapinnya dengan perbuatan, itu lebih berarti kan?" Dia membela diri. "Love language aku ya perbuatan."

"Iya, deh, Mas, iya. Aku ngerti, kok." Ia tersenyum. "Mas lucu kalau lagi malu-malu, I love you too, ya, Mas."

Sebuah kecupan mendarat di pipinya ....

"Ih, Mas, kayak kepiting rebus!"

"Ayah, kenapa diam aja?" Pertanyaan Tanaya menarik kembali Adnan dari kenangan indah masa lalu itu, dia menatap putrinya dalam.

"Tanaya, kamu jangan bilang siapa-siapa soal tadi, oke? Kamu sendirian saja kan di sini?" Tanaya mengangguk lugu, wajahnya masih diliputi rasa penasaran. "Kamu pasti tahu, Ketua Kelas kamu, sama seperti kamu, bedanya ayah dia yang ada di surga. Kamu pasti paham sedihnya kan?" Adnan menyikap anak rambut Tanaya ke belakang telinga.

"Tapi kenapa dia mau Ayah jadi Papah dia, aku aja gak mau punya Ibu baru."

"Mungkin ... nasib Banyu berbeda seperti kamu, Sayang. Dia haus mencari kasih sayang. Entah apa, tetapi Banyu sedang terluka, lihat dia nangis tadi kan? Kamu, sebagai teman, tolong temani dia nanti ya." Tanaya mengangguk mengerti. "Kita harus sama-sama menghibur dia."

"Iya, Yah." Keduanya saling melemparkan senyuman hangat. "Tapi, Ayah enggak akan jadi ayahnya Banyu, kan? Aku gak mau Ayah aku dibagi!"

Adnan tersenyum melihat anaknya manyun kesal. "Sayang, Ayah ini kan guru, anak-anak di sekolah juga anak Ayah."

"Anak Bapak." Tanaya meralat. "Kalau anak Ayah, cuman aku." Ia tak mau kalah.

"Iya, Sayang, iya." Tanaya langsung memeluk Adnan erat.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Pak Guru, Mau Jadi Papahku? ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang