Chapter 33

7.4K 509 12
                                    

Mendengarnya, seketika Adnan kaget, begitupun Rachita.

"Pasti sayang, dong, kan, Mah? Kan Pak Adnan baik! Pak Adnan pasti sayang Mamah aku juga kan?" Timpalan dari Banyu bahkan membuat Rachita tersedak, padahal dia tak memakan sesuatu.

"Eh, Rachita." Adnan buru-buru mengisi gelas dengan air minum, dan ingin menyerahkan ke Rachita, yang padahal membuat anak-anak terheran-heran.

Aneh, ini kan video call, bagaimana cara ngirim minumnya?

"Uh, oh ...." Adnan sadar akan kekonyolannya dan Rachita berusaha menetralkan rasa gatal di kerongkongan. Keduanya hanya bisa senyum malu-malu, tak berani saling menatap.

Sampai, Adnan berdeham. "Jadi, malam ini, ya, Rachita?"

Rachita tersadar, dia masih tersenyum. "Iya, jangan lupa ya. Sampai jumpa nanti!"

"Dadah Mamaaah/Tanteee!"

"Iya, dadah."

Dan panggilan diputus sepihak, Adnan dan Rachita masih memikirkan soal tadi.

Sesuai janji, malam harinya, mereka ke makan malam bersama di sebuah restoran outdoor yang kelihatan indah, terlebih ada taman bermain anak di dekat sana. Menunggu pesanan mereka, Banyu dan Tanaya bermain di sana.

"Sepertinya wajah kamu kusut hari ini," kata Adnan tiba-tiba, memang ekspresi Rachita terlihat jelas.

"Kelihatan sekali, ya?" Rachita tertawa pelan. "Yah, hanya hari melelahkan di kantor."

"Kamu harus lebih banyak istirahat, jangan memaksakan diri." Adnan mengingatkan.

"Bukan seperti itu, sih. Cuma hari ini aku baru saja kehilangan sekretaris dan asisten pribadinya, jadi tahulah aku agak keteteran dengan pengganti sementara, bukan bermaksud bilang kinerjanya jelek tapi yah, sulit menjelaskannya."

"Oh, sekretaris kamu yang waktu itu?" Rachita mengangguk. "Kenapa dia berhenti?"

"Entahlah, kalau ditanya, jahat gak sih kalau aku setuju-setuju aja tanpa perlawanan, dia pria yang kinerjanya bagus cuma aku selalu tertekan sama dia." Rachita agak dilema. "Aku merasa ini ... personal."

"Tidak salah, bukankah kamu sudah mengesampingkan hal personal dan dia sendiri yang undur diri?" Benar juga. "Apa kamu perlu bantuan untuk itu? Aku punya beberapa kenalan."

"Boleh, aku akan menerima uluran tangan dari mana aja, rasanya pusing kerja sendirian begini." Keduanya tertawa hangat.

"Tapi kamu hebat, bisa membagi waktu, antara bekerja dan keluarga. Sungguh aku salut pada wanita seperti kamu."

"Yah, dulu gak begini, andai kamu gak nampar aku dengan kata-kata, gak akan ada yang berani begitu, aku bakalan ... kehilangan Banyu." Keduanya menatap Banyu yang asyik bermain dengan Tanaya sekilas. "Jujur saja sih, kalau bisa memilih, aku mau jadi full IRT, yang kalaupun harus kerja mungkin kerja di rumah saja, tapi perusahaan ini ... perusahaan mendiang ayah Banyu yang sangat dia banggakan."

"Ah, aku mengerti perasaan itu." Adnan mengangguk. "Pilihan yang sulit, tapi aku rasa kamu bisa menghadapinya, aku akan bantu kalau kamu butuh bantuan."

Keduanya saling melempar senyum.

"Oh ya, dari tadi aku aja yang cerita, bagaimana dengan kamu?"

"Aku? Yah, aku bakalan sibuk nanti soal lomba anak-anak karena aku, salah satu wali, sekaligus panitia di sana." Adnan menggedikan bahu. "Aku benar-benar gak sabar buat liat mereka, anak-anak yang berbakat di beragam bidang."

"Aku akan ke sana nanti melihat Banyu juga, kalau kamu panitia aku minta bangku paling depan biar bisa liat jelas, ya." Rachita berbisik dan keduanya tertawa geli akan hal itu. "Aku serius, lho."

"Iya iya, akan aku usahakan." Dan sejenak, mereka diam-diaman.

"Sepertinya akan lama pesanannya datang, jangan bilang mereka lupa pesanan kita," kata Rachita, menatap anak-anak yang masih asyik bermain.

Adnan tertawa pelan akan hal itu.

"Rachita, apa kamu percaya, aku ini sebenarnya pria yang gengsi berkata kata cinta?"

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Pak Guru, Mau Jadi Papahku? ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang