Chapter 08

14.8K 840 2
                                    

Suasana rumah sakit lumayan sepi, koridor yang kosong melompong, saat ibunda Banyu berjalan cepat, begitu menggema ke sekeliling. Dia terus berjalan, tanpa melihat ke belakang, menuju ke ruangan putra semata wayangnya tersebut yang juga dihuni beberapa pasien lain di sebelahnya.

Dan tak lama, dia pun sampai ....

Pembantunya yang tengah menjaga berdiri akan kehadiran wanita tersebut, matanya kelihatan sembab, entah oleh tangisan atau rasa kantuk. "Nyo-Nyonya ...."

Tak dipedulikan, ibu Banyu menghampiri putranya yang masih terlelap, bersama selang infus serta, keadaannya masih begitu menyedihkan.

"Banyu, Sayang, maafin Mamah," katanya, menangis terisak, penuh penyesalan, diusapnya puncak kepala putranya tersebut.

"Nyonya, Dokter bilang kondisi Banyu sudah membaik, dia demam karena kelelahan dan syok, jadi--"

Ungkapan Ulfah terpotong, melihat sang nyonya besar menatapnya nyalang. "Kenapa kamu bawa dia ke ruangan umum? Harusnya ke VIP!" Wanita tersebut kesal.

"Ma-maaf, Nyonya." Dia terlalu panik untuk memikirkan hal tersebut, terlebih sedari tadi nyonya besar tak bisa dihubungi. Ingin beralasan, tetapi terlalu takut, hingga dia hanya terus menunduk.

"Banyu, Sayang." Dia memeluk putranya erat. "Maafin Mamah." Dan hal tersebut, membuat Banyu agak terganggu dalam tidurnya.

Meski demikian, dia tak membuka mata, hanya merengek ....

"Papah ...." Mendengar hal tersebut, jelas hati ibunya teriris sakit. "Papah ...." Kembali, Banyu menangis.

"Sayang ...." Banyu pasti sangat merindukan suaminya, sang ayah. Sama, dia pun sangat rindu, tetapi apa mau dikata. "Cup cup cup, Sayang."

Dia berusaha menenangkan Banyu, yang syukurlah menenang setelahnya. Dengan berusaha tegar, ia berdiri. "Kita pindahkan Banyu ke kamar VIP. Segera!"

Meski tengah malam, uang berbicara, segera Banyu dipindahkan ke kamar VIP yang menurut ibundanya lebih baik. Dengan segera pula, dia mengurus administrasinya.

Dokter yang mengurus pasien itu, yang harusnya sudah tenang di kamar inap di sini, berusaha tetap tenang dan sabar. Walau, yah, ada perasaan tak enak saat ini. Namun, kurang lebih dia mengerti, perasaan sebagai seorang ibu. Meski dia single, tetapi sebagai dokter anak, dia wajib memahami hal ini.

Kini, di ruang VIP, ibundanya masuk dan tampak Ulfah menunggui. Wanita itu duduk di sofa yang tersedia di sana, menjagai anaknya sepenuh hati.

"Maaf aku gak sebaik kamu jagain Banyu, Mas. Maaf ...."

Ulfah yang mendengar itu diam seraya menunduk, entahlah, hati kecilnya menyangkal ungkapan majikannya tersebut. Bisa, sebenarnya, jika nyonya besar menjaga Banyu sebaik mungkin. Cukup kurangi intesitas bekerja yang nyaris, hampir setiap hari, pergi pagi pulang tengah malam bahkan esok pagi lagi di mana Banyu tidur.

Banyu kekurangan kasih sayang, Ulfah bisa merasakan rasa haus kasih sayang orang tua di sana. Banyu membutuhkan itu, dia sakit bukan hanya karena lelah, atau syok, tetapi rindu yang teramat berat pula. Stres yang diderita karena tiada perhatian, Ulfah saja tidak cukup.

"Banyu, kamu bangun, Sayang." Mendengar itu, Ulfah ditarik dari kenyataan, wanita muda tersebut menoleh dan menemukan Banyu ternyata membuka mata. Nyonya besar tampak bahagia, mengusap puncak kepala putranya. "Kenapa, Sayang? Kamu lapar ya?"

Banyu menatap wajah ibundanya, agak mengerjap, entah kenapa pandangannya kabur sampai menjernih perlahan-lahan. Lalu, tangan mungil tersebut, bergerak, naik memegang tangan ibunya dari kening.

Awalnya, jelas, ibunya bahagia, tetapi setelahnya dia agak syok karena Banyu menyingkirkan tangan sang ibu agar tak mengelusnya, kemudian memiringkan badan, tak mau menghadap wanita tersebut.

"Banyu ...." Banyu ... pasti kesal karena ibunya.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Pak Guru, Mau Jadi Papahku? ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang