Chapter 34

7.2K 488 10
                                    

Rachita yang tadi fokus ke anak-anak langsung menatap Adnan yang menyatakan itu, agak heran.

"Aku pria gengsian, gak romantis, dan kaku di hadapan anak-anak, apa kamu percaya?" Adnan tertawa mengatakannya.

"Sungguh?" Adnan tak terlihat begitu. "Dulu?"

"Begitulah, beda jauh dengan mendiang istriku yang ceria dan hangat ke semua orang, aku ini dingin, kaku." Adnan masih menertawakan masa lalunya. "Mungkin karena didikan orang tuaku keras dan dingin, aku jadi begitu, tapi aneh kan dia yang begitu menikah denganku?"

"Jodoh saling melengkapi, kan?" Keduanya tertawa geli.

"Yah, bisa dikatakan, aku mengubah segala kepribadian buruk itu, menyerupai dia, awalnya sulit terbiasa tapi lama-kelamaan, aku sadar, mencintai sekitar, kemudian dibalas dengan cinta pula, itu membahagiakan. Meski yah, kadang timbal balik gak seperti yang diharapkan, tapi itulah manusia. Mereka makhluk sosial. Kalau aku tetap jadi pria gengsian seperti dulu, bisa jadi aku membuat Tanaya bukan Tanaya yang sekarang, atau bisa jadi aku akan kehilangan Tanaya juga."

"Jadi bisa dikatakan, nasib kita hampir sama, ya? Apa kamu merasa kamu berkaca seperti di masa lalu?" tanya Rachita, Adnan mengangguk lembut. "Kita memang banyak kesamaan sepertinya, ya."

"Oh, aku bertemu mendiang istriku saat kami mau kuliah, dia juga guru sekolah dasar karena dia sangat suka anak-anak, entah kenapa aku ngikutin dia dan itu kali pertama aku membangkang orang tua yang mau aku ke bisnis keluarga. Sebenarnya tak terlalu penting, aku punya kakak yang bisa mereka andalkan."

"Kamu punya kakak?"

Adnan mengangguk. "Ya, kakak perempuan. Aku anak bungsu. Kamu?"

"Aku anak tunggal, sebenarnya aku punya saudari kembar tapi dia meninggal sejak kecil. Dan oh, aku ketemu mendiang suamiku saat kami berkuliah. See? Sepertinya kita memang banyak kesamaan."

"Apa kesamaan itu, juga ada dari hati masing-masing?" tanya Adnan tiba-tiba, Rachita terdiam seketika karenanya.

Meski diam, ada rasa deg-deg-an, entah kenapa pertanyaan itu mengarah ke ....

Adnan berdeham. "Uh, mungkin terlalu cepat, sepertinya."

"Yah, mungkin." Rachita menjawab. "Karena kita pasti sadar, ini aja kali pertama kita membicarakan soal hal personal kan?"

Adnan tersenyum, begitupun Rachita. "Aku mengerti."

"Mau mengenal lebih jauh satu sama lain?"

"Itu step yang bagus untuk PDKT, dan kamu tahu hal paling bagus?" Mereka menatap anak-anak. "Start kita sepertinya mulus."

Rachita juga menyadari kedekatan anak-anak mereka. Lalu, soal mendiang pasangan mereka ... yah, mereka akan marah kalau Rachita dan Adnan mungkin saling menyakiti.

Tak lama, pesanan mereka datang, keduanya mau tak mau mengakhiri percakapan ini dan memanggil anak-anak untuk makan malam bersama.

Rencananya, intesitas pertemuan empat mata antara Adnan dan Rachita akan mereka lakukan lebih intens demi pengenalan diri masing-masing lebih jauh.

Contohnya, beberapa hari kemudian, di malam usai anak-anak tidur.

Adnan duduk di samping Rachita sambil menyerahkan bubur sumsum hangat kepadanya, ia menerima itu dan berterima kasih pada sang pria.

"Emang malam-malam yang dingin begini, paling enak makan yang hangat-hangat," kata Rachita, memulai perbincangan mereka.

"Aku setuju, dan keknya kita harus bungkus satu-satu untuk Banyu dan Tanaya." Rachita mengangguk setuju.

"Baikah ... kita mulai dari siapa? Aku? Kamu?" Mereka memang ingin berbincang sejauh itu.

"Mau suit dulu?" tawar Adnan, Rachita tertawa geli, tetapi dia setuju.

Dan keluar sebagai pemenang, adalah Rachita.

"Berarti aku yang mulai duluan?" Adnan mengangguk. "Oke, aku ... cuman wanita biasa, yang lahir di keluarga yang keknya lumayan berada untuk segi orang kampung. Ayahku juragan ikan, dan ibuku ... bule." Rachita terkikik menceritakannya.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Pak Guru, Mau Jadi Papahku? ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang