7. Bunda dan Feya

16 6 3
                                    

Hei! Aku teh pengen nulis ini cerita sampe tamatt tapi kadang suka bingung di tengah2 ges.
Maap ini mah kalo cerita ny gaje wkwk da emang aku masi amatiran🙏

Yauda deh, selamat membaca sangkuu!



















"Assalamualaikum bunda, Feya pulangg"

Hampir setengah jam aku duduk didalam angkot. Jalanan sangat macet tadi. Jam menunjukan pukul 18.20 dan aku baru sampai.

"Waalaikumsallam, akhirnya kamu pulang juga. Bunda khawatir, apalagi hujan nya deras banget tadi" Bunda memeluk ku. Raut khawatir nya sangat ketara. Disamping itu aku bahagia, setidaknya aku masih punya bunda yang sangat menyayangiku.

"Tadi Feya neduh di pos sekolah dulu bun, sambil nunggu angkot nya lewat" Aku tersenyum menatap bunda.

"Pokoknya bunda khawatir banget banget banget! Kalau bunda bisa anter jemput kamu setiap hari, pasti bunda lakuin itu" Bunda menatap ku dengan senyum sendu nya.

"Ya ampun bunda. Feya akan baik-baik aja, bunda jangan khawatir gini. Kalau kayak gitu Feya malah makin ngerepotin bunda dong" Aku menuntun bunda untuk duduk di kursi ruang tamu.

"Kamu itu nggak pernah ngerepotin bunda sama sekali sayang. Nggak sekalipun" Bunda memegang tangan ku, mengelus nya lembut "Bunda sayang, sayang sekali sama Feya. Siapapun yang berani nyakitin kamu, bunda nggak akan biarin itu".

Aku tersenyum, mencoba menahan air mata yang ingin sekali luruh. Jika boleh berharap, aku hanya ingin bunda selalu ada disamping ku. Aku nggak tahu gimana hidup ku kalau sampai bunda ninggalin aku seperti ayah.

"Feya juga sayang sekali sama bunda" Aku memeluk bunda erat. Air mata yang kutahan dengan susah payah tadi, akhirnya luruh juga.

Bunda memeluk ku tak kalah erat. Mungkin jika ayah masih ada dan ikut memeluk ku erat seperti bunda, aku akan sangat bahagia sekali.

"Bunda" Aku melepas pelukan kami perlahan, lalu menatap bunda lekat.

"Kenapa sayang?" Bunda mengusap rambut ku.

"Ayah pasti ikut bahagia kan lihat kita?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut ku.

Bunda tersenyum, getir.

"Pasti dong! Ayah pasti bahagia lihat kita sayang. Seandai nya ayah masih ada disini sama kita, pasti dia bakal ledek kamu karena cengeng kayak gini" kekeh bunda seraya mengusap air mata di pipiku.

"Feya nggak cengeng kok bundaa, cuman terbawa suasana" aku ikut terkekeh. Padahal jika nanti aku masuk ke kamar dan menguncinya, air mata ku pasti akan turun semakin deras.

"Iyadeh, bunda percaya" ucap bunda disertai kekehan kecil. "Oh iya, kamu hutang penjelasan loh sama bunda" lanjutnya sebari tersenyum.

"Penjelasan? Penjelasan apa bunda?" Tanyaku tak paham.

Bunda terkekeh kecil "Padahal kamu yang janji mau cerita sama bunda tentang omah?"

"O-oh omah. Feya lupa melulu habisnya" Kata ku disertai cengiran. "Jadi, omah itu nenek yang Feya tolong tempo hari bunda" Aku menjeda, menunggu respon bunda.

"Tolong?" Bunda menatap ku serius.

"Iya. Jadi waktu Feya pulang sekolah itu, Feya lihat seorang nenek yang terduduk di trotoar. Karena takut nya kenapa-napa Feya samperin. Ternyata nenek itu jatuh, bunda. Lutut nya luka. Yaudah Feya bantu obatin luka nya. Habis itu nenek itu kasih Feya kartu namanya, namanya itu omah Ambar. Beliau punya toko kue di ujung jalan dekat halte" Aku mengakhiri cerita ku.

Bunda tersenyum hangat. "Kamu punya hati yang baik, sayang. Persis sekali seperti ayah kamu. Janji sama bunda untuk selalu berbuat baik sama orang tanpa melihat apapun ya?" Ucap bunda dengan mengangkat jari kelingking nya di depan wajahku.

Ini Tentang Feya (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang