prolog

446 33 9
                                    

Tujuan manusia hidup di bumi adalah untuk menikah dan meneruskan garis keturunan. Begitulah kata beberapa orang tua yang masih memiliki pandangan konservatif, juga beberapa anak muda yang sudah dicekoki oleh hal-hal serupa yang terus menjamur di lingkungannya. Enggan untuk menerima pendapat lain yang berbeda. Karena kalau tidak begitu, ya, berarti salah. Sudah menyalahi aturan hidup yang ada. Khas pola pikir biner, menganggap bahwa hidup hanya punya dua warna, hitam dan putih saja.

Mereka seolah menolak untuk mengerti jika ada beberapa orang di luar sana yang tidak punya keistimewaan yang sama dalam hal pernikahan. Bahwa bagi beberapa orang, menikah adalah sebuah kemewahan yang sulit untuk diraih. Tentu saja banyak faktor yang mendasari pemikiran itu. Selain karena harga rumah yang semakin tidak masuk akal dan biaya pendidikan anak yang setiap tahun selalu mengalami peningkatan. Ternyata belum menemukan orang yang dicintai juga menjadi salah satu faktor bagaimana pada akhirnya pernikahan itu menjadi satu hal yang semakin sulit diwujudkan.

Untuk alasan yang terakhir agaknya terlalu klise bagi sebagian orang. Cinta? Memangnya kenyang makan cinta? Kata mereka yang mengagung-agungkan uang dan menganggap bahwa uang jauh lebih bertakhta daripada cinta. Namun, untuk mereka yang masih mendambakan sebuah cinta sejati khas dongeng-dongeng pengantar tidur masa kecil, cinta tetap punya peran penting. Sebagai penentu bagi orang-orang yang masih percaya bahwa mereka harus menikah karena perasaan itu.

Kesemerawutan tentang topik menikah tidak hanya sampai di situ saja. Karena akan selalu ada selentingan kisah perih yang melukiskan bagaimana ketakutan-ketakutan itu seketika menyeruak kala bersinggungan dengan masalah pernikahan. Peninggalan tidak enak yang diwariskan dari pernikahan orang tua yang berantakan misalnya. Akibatnya? Timbul perasaan untuk tidak mau mengikuti jejak orang tua agar tidak terjebak ke dalam siklus yang sama.

Apapun alasannya, jelas sekali jika menikah bukan untuk semua orang. Kalaupun ada yang memaksakan diri meski mereka paham bahwa itu artinya mereka harus menanggung segala konsekuensinya, bisa ditebak bahwa lingkungan berperan sangat besar atas keputusan mereka. Desakan dari keluarga terlebih dari orang tua sungguh menyesakkan. Hingga jalan satu-satunya untuk keluar dari pertanyaan "Kapan menikah?" adalah dengan menikah. Meski tanpa cinta, meski ada trauma di masa lalu yang mencekik, meski harga rumah dan biaya pendidikan anak yang mahal. Mereka rela menerjang itu semua demi sebuah status dan pengakuan dari orang-orang sekitar: menikah.

Dewi, seorang perempuan yang lima bulan lagi berusia 31 itu adalah salah satunya. Dua tahun lalu, bahkan bulan lalu, ia masih tenang-tenang saja dengan status single yang disandangnya. Menganggap bahwa pernikahan bukanlah kebutuhan penting untuknya yang sudah kelewat mandiri. Ia juga tidak membutuhkan hubungan emosional yang melibatkan dirinya di sana. Tidak lagi. Setidaknya sejak dua tahun lalu. Rasanya terlalu sakit mengingat-ingat kalau hari itu adalah awal di mana pandangannya terhadap cinta seketika berubah.

Dua tahun telah berlalu dengan Dewi yang berusaha menyembuhkan lukanya. Dan mulai sekarang, Dewi bertekad bahwa ia akan sedikit melunak terhadap keadaan. Ia mungkin tidak akan menikah karena cinta. Tapi bukan berarti ia tidak bisa menikah, bukan?

Karena sepertinya sudah waktunya bagi Dewi mencari seseorang untuk diajak membicarakan soal pernikahan. Akibat orang tua dan keluarga besar yang selalu memprovokasinya untuk cari suami. Dewi tidak lagi ingin peduli dengan cinta dan antek-anteknya. Ia hanya ingin melepas beban yang menghimpitnya kala seluruh keluarga mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan perihal pernikahan. Dewi sudah muak. Sampai-sampai, ia kerap kali mangkir dari acara kumpul keluarga agar tidak mendapatkan pertanyaan seputar jodoh. Kalaupun ada yang tiba-tiba menyisipkan pertanyaan soal pernikahan kepadanya saat berada di obrolan yang jauh dari topik tersebut, Dewi dengan senyum palsunya akan menjawab, "Doain saja, ya."

Dewi telah menemukan kandidat laki-laki yang akan menjadi calon suaminya. Tidak sulit menemukannya, karena Dewi punya seorang sahabat yang dengan suka rela mencarikannya laki-laki yang juga siap menikah. Ben bilang kalau Dewi mengenal sosok itu, teman SMP mereka katanya. Ben yang sejak awal selalu berperan menjadi peri pelindung Dewi kini merangkap pekerjaan menjadi makcomblang demi sahabat tersayang. Laki-laki itu tampak semangat menyeleksi calon suami untuk sahabatnya dengan membuka seluruh buku tahunan sekolah yang ia punya, juga mengecek kenalan-kenalannya yang sekiranya cocok untuk Dewi. Dan yang paling penting adalah orang itu harus punya niat yang sama. Ingin segera menikah.

Atas instruksi dari Ben, Dewi memasuki Sapori, sebuah restoran Italia yang berada tidak jauh dari ruko kantornya. Dewi akan menemui Satria. Tanpa tahu banyak tentang sosok yang akan ia temui itu. Informasi yang diberikan Ben sangat terbatas, sama sekali tidak membantu. Selain informasi bahwa Satria adalah teman semasa SMP, katanya laki-laki itu saat ini bekerja di sebuah perusahaan pengembang properti. Hanya itu, Ben tidak mau repot-repot memberi nama lengkap atau hanya sekadar foto. Katanya kejutan. Yang bagi Dewi ini jatuhnya jadi lebih seperti membeli kucing dalam karung. Meskipun gagasan itu sama sekali tidak salah sejak awal. Memutuskan untuk mencari calon suami tanpa repot-repot melakukan pendekatan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun juga sama saja. Dewi dengan tegas mengelak saat pertama kali Ben mencibir atas ide gilanya itu. Karena menurut Dewi, proses pendekatan itu sangat membuang waktunya yang hanya membutuhkan pergantian status di KTP.

Dewi sebenarnya ingat satu nama Satria yang menjadi temannya di SMP dulu, tapi ia tidak yakin kalau yang Ben maksud adalah Satria yang sama. Sebab Satria yang itu, kan, tidak mungkin belum menikah. Karena dia ....

"Dewi," seru seseorang yang memanggil namanya dari salah satu meja yang berada beberapa meter di depannya.

Astaga. Dewi kenal dia. Dia adalah Satria yang itu. Satria yang beberapa menit yang lalu ia pikirkan. Pantas saja Ben menyebutnya kejutan. Jelas ini benar-benar mengejutkan!

🎡🎡🎡

(31 yo, INTJ, act of service, architect and interior designer, likes to hide feelings, insensitive)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(31 yo, INTJ, act of service, architect and interior designer, likes to hide feelings, insensitive)

(31 yo, INTJ, act of service, architect and interior designer, likes to hide feelings, insensitive)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(31 yo, ESFJ, quality time, clothing business owner, overthinking, friendly and enthusiastic)

***

✨This is the first story from fleurfeine a.k.a Nami Waryudi. Cerita ini mungkin akan sangat membosankan bagi sebagian orang. Atau justru terasa ringan dibaca saat santai. Aku berharap ceritaku dapat menemanimu seperti teman yang selalu ada saat kamu membutuhkannya. Siapapun kamu, apapun yang sedang kamu hadapi, kamu adalah orang yang lebih kuat daripada yang pernah kamu bayangkan sebelumnya. This is the time for us to move forward and forget the painful past with Dewi and Satria who are trying to do the same✨

Illusion PlaygroundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang