Satria Natha Moerdoko menghentikan mobilnya di dekat rumah Dewi namun tidak langsung keluar. Ia mengetik sesuatu di ponsel dan mengirimnya. Berharap Dewi merespons dengan cepat. Dan tidak lama berselang, harapannya dikabulkan, balasan dari Dewi datang dan menyuruhnya untuk tetap di tempat.
Satria tampak mengetuk-ngetuk kemudi mobilnya dengan telunjuk, berusaha bersabar menunggu Dewi muncul dari balik pagar rumahnya. Dan benar saja, setelah sekitar lima menit menunggu. Satria dapat melihat Dewi muncul dari balik pagar dan berjalan menghampiri mobilnya. Dengan cepat Satria membuka laci dasbor dan mengeluarkan kotak beludru merah berisi cincin yang tadi malam mereka bicarakan.
"Did you bring the ring?" tanya Dewi tanpa basa-basi setelah masuk ke dalam mobil Satria.
Bukannya langsung menjawab, Satria justru tersenyum, lalu menyapa, "Selamat siang."
Alis Dewi sedikit terangkat tapi ia tetap menjawab. "Selamat siang juga."
"Ini cincinnya," kata Satria santai lalu membuka kotak beludru yang ia pegang. Alih-alih memakaikannya langsung ke jari Dewi, Satria memilih untuk langsung memberikan cincin beserta kotaknya itu.
"Kamu bisa menyimpannya. It's for you," karena tidak mendengar jawaban apapun dari Dewi, Satria akhirnya kembali berkata setelah Dewi menyambut kotak cincin yang ia berikan.
Dewi tahu betul cincin itu seharusnya bukan untuknya. Tapi ia tidak ingin repot-repot bertanya karena sepertinya Satria juga tidak berniat memberitahu. Mari kembali berakting pura-pura tidak tahu apa-apa. Lagi pula, Satria dan perempuan yang seharusnya memiliki cincin itu bukan urusan Dewi. Iya, bukan urusannya.
"Terima kasih," ujar Dewi singkat, setengah melamun.
Satria mengangguk sambil memberikan seulas senyum tipis. Menunggu reaksi lain selain ucapan terima kasih.
"This ring is so pretty. Kamu pintar memilih cincin," lalu senyum lembut terulas di bibir Dewi dan itu bukan senyuman palsu. Dewi tidak berbohong saat mengatakan jika cincin itu cantik. "Aku menyukainya," gumam Dewi lirih seraya mengambil cincin itu dari kotaknya dan memakainya ke jari manisnya sendiri. Ia menatap cincin yang sudah melingkar cantik di jarinya dengan tatapan takjub. Cincin itu sangat pas di jarinya. Sungguh ajaib. Tidak kekecilan tapi tidak juga kebesaran. Seolah cincin itu memang dibuat untuk dirinya. Kalau saja Dewi tidak tahu cerita Satria dan kekasihnya, pastilah Dewi sudah tersenyum terlalu lebar sekarang.
"Kamu beneran suka?" tanya Satria ikut merasa takjub seraya menatap cincin yang sudah melingkar di jari manis Dewi.
Dewi mengangguk sekali, mengalihkan pandangannya ke arah Satria, lalu, "Ayo masuk, kotak cincinnya titip di mobilmu dulu, ya. Mereka akan curiga kalau aku juga membawa kotak ini sekarang."
Tangan Dewi menaruh kotak belundru itu di atas dasbor lalu bergegas keluar mobil, diikuti Satria yang juga keluar dari pintu sebelahnya. Mulai saat ini Satria akan berperan sebagai pacar Dewi di depan semua orang, atau lebih tepatnya calon suami. Tidak bisa dipungkiri bahwa tiba-tiba rasa gugup itu menyerangnya. Meski Dewi sudah mengatakan kalau keluarganya pasti menerimanya, tetap saja Satria merasa perlu menenangkan diri. Mengingat selain ayah, Dewi juga punya dua orang kakak laki-laki yang harus Satria hadapi. Biar bagaimanapun, ini pertama kalinya bagi Satria datang ke rumah seorang perempuan dengan maksud meminta izin menikah. Bersama Erna, Satria belum memasuki tahap ini karena sudah lebih dulu ditolak. Ah, Satria tidak ingin mengingat-ingat hal itu di saat ia harus fokus mempersiapkan diri untuk segala pertanyaan yang akan ia dapatkan dari keluarga Dewi nanti.
"Jangan tegang, santai aja," ucap Dewi yang sedang berjalan di sampingnya, berusaha menenangkan. Sepertinya Satria sudah gagal menutupi rasa tegangnya sampai-sampai Dewi yang berada di sampingnya dapat menyadari dengan mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Illusion Playground
RomanceAwalnya, Dewi Kirana tidak pernah menyangka bahwa ia akan bertemu lagi dengan Satria Natha Moerdoko setelah sekian lama. Di situasi yang tidak terduga, Satria menawarkan apa yang sedang Dewi butuhkan--dan Dewi terlalu waras untuk menolak itu semua. ...