11. flower of apologize

112 15 0
                                    

"Menurut lo, bagaimana cara minta maaf yang tulus tanpa terkesan basa-basi?" sela Satria tiba-tiba sambil memainkan garpu yang sejak tadi hanya ia pakai untuk memutar-mutarkan spageti tanpa berniat memasukkannya ke dalam mulut. Kepalanya masih tertunduk mengamati makanannya tanpa minat, sebab pikirannya masih buntu karena belum berhasil berbaikan dengan Dewi sejak lima hari yang lalu.

Janitra, kepala divisi konstruksi dan pengembangan, sekaligus teman dekatnya di kantor itu mengernyit. "Berantem lo sama Dewi?" tanyanya.

Setelah undangan pernikahannya selesai dicetak, dan juga sudah disebar sejak dua hari yang lalu. Hubungan Satria dan Dewi tidak juga kunjung membaik. Malah terkesan seperti perang dingin. Satria sudah mencoba beberapa kali menelepon atau mengirim pesan, namun respons yang ia dapatkan tak terlalu memuaskan. Dewi seperti telah menjadi orang lain yang belum pernah ia kenal sebelumnya.

"Ada sedikit masalah, tapi bukan masalah besar yang harus sampai diam-diaman berhari-hari gini, Jan," keluh Satria dan akhirnya meletakkan garpu yang sejak tadi ia pegang. Beralih mengambil gelas air putih di sisi kanannya lalu meminumnya.

"Are you sure it's not a big deal?" Janitra mengulas senyum miring, terkesan menyebalkan.

"Yeah, I think ...,"

"Nah, ketemu kan jawabannya," potong Janitra.

Kini kening Satria yang gantian mengernyit. "Gue nggak ngerti."

"Listen," Janitra memperbaiki posisi duduknya terlebih dahulu sebelum melanjutkan ucapannya. "You think that the problem is not a big deal. But you don't know what is in Dewi's mind. Siapa tahu justru sebaliknya," kata Janitra setengah menerawang.

Satria tertegun. Berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh temannya itu.

Benar juga. Kenapa ia tidak kepikiran dari kemarin?

"Jadi, menurut lo, mungkin aja yang gue kira masalah kecil dan cenderung sepele ini adalah masalah besar buat Dewi, gitu?" Satria mencoba mengurai maksud Janitra.

"Bingo," sahut Janitra seraya mengacungkan telunjuknya tepat di depan Satria. "Coba lo pikir lagi, mungkin ada sesuatu yang bikin dia nggak nyaman tapi lo nggak peka—"

"Nggak peka!" Satria berseru. Otaknya membawa ingatan itu kembali. "Dewi memang bilang di malam itu kalau gue nggak peka," berbeda dengan kenyataan bahwa apa yang baru saja ia katakan bukanlah sesuatu yang baik, tetapi ekspresi Satria justru menunjukkan hal sebaliknya.

"Dan lo kelihatan senang dibilang nggak peka," komentar Janitra setengah menyindir dan tak habis pikir.

"Bukan," tangkisnya. "I finally found the reason why Dewi bersikap dingin akhir-akhir ini," jelasnya sambil melipat kedua tangannya di dada bersama senyum yang sudah tersungging di bibirnya.

Makan siang berkedok minta saran itu akhirnya membuahkan hasil. Setelah lumayan pening mendapati sikap Dewi yang berbeda—cenderung dingin dan tak acuh—setelah malam itu. Kini Satria setidaknya tahu apa yang menyebabkan Dewi bersikap demikian.

"Kenapa lo nggak tanya dia aja, sih?"

"Sudah. Tapi dia bilang nggak kenapa-kenapa."

"Dan lo percaya?" tanya Janitra setengah mendengkus. "Cewek itu kalau dia bilang nggak, bisa jadi iya. Kalau dia bilang iya, bisa jadi nggak. Lo harus lihat sikonnya dulu," terang Janitra.

"Kenapa ribet banget," keluh Satria berlebihan.

"Entahlah," sahut Janitra setelah mengangkat bahunya. "Selama gue berhubungan dengan beberapa cewek sampai ke pacar gue yang sekarang, rata-rata cewek memang begitu."

Illusion PlaygroundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang