5. a succour box

123 18 0
                                    

"Lo ganggu hari minggu gue tahu nggak, ini waktunya gue istirahat," gerutu Dewi sebal lalu mengambil tempat duduk tepat di depan Ben yang sudah menunggunya. Dewi kesal bukan main sebab acara tidurnya jadi terganggu karena pesan Ben yang mengajaknya bertemu.

Tangan Dewi terulur mengambil es kopi yang ada di depannya dan langsung meminumnya. Dewi tidak perlu repot-repot bertanya karena ada dua gelas es kopi di meja itu dan satu gelas yang berada di dekat Ben tampak sudah diminum-cairan cokelat itu sudah berkurang dari gelas. Jadi bisa disimpulkan kalau satu gelas yang isinya masih utuh dan di taruh di dekatnya itu adalah miliknya. Biasanya Dewi akan menyempatkan diri beberapa menit untuk menikmati suasana kafe sebelum meminum kopinya, mengagumi interior kafe yang cantik atau apapun yang menyenangkan matanya. Tapi tidak dengan sekarang. Kepalanya bergerak miring ke kiri, ke kanan, dan mendongak. Dewi sedang menunjukkan kalau ia memang sedang kelelahan.

Ben mencibir, ia sudah hapal kalau Dewi hanya sedang bersikap berlebihan. Padahal, sabtu kemarin ia tahu Dewi tidak ke mana-mana. "Habis diapelin ayang kok kecapekan, jangan-jangan kalian habis ...," ucap Ben dengan pandangan menyipit. Sungguh menyebalkan.

Dewi mendengkus. "Otak lo nggak usah ngeres, gue capek beneran. Otak gue ...," Dewi menunjuk kepalanya sendiri dengan telunjuk, "very tired."

Bukannya tersinggung, Ben justru terkikik geli. Padahal Dewi sendiri yang meminta dicarikan calon suami. Sebagai peri pelindung dan makcomblang berprestasi, Ben sudah memberikan Dewi calon suami terbaik dan melebihi ekspektasinya. Seharusnya Dewi tersenyum bahagia bukannya malah mengeluh begini.

"Capek kenapa, sih?" suara Ben berubah tenang setelah tawanya terhenti.

Dewi mendadak lupa alasan kenapa ia kelelahan. Hanya saja sejak Satria pulang dari rumahnya sore kemarin, Dewi merasakan banyak pikiran-pikiran jelek yang tidak diundang terus berdatangan. Merusak rasa percaya dirinya yang sudah cukup menciut di depan Satria.

"Gue takut Satria tiba-tiba batalin acara pernikahan kami," Dewi tahu kata-katanya tidak berdasar, namun ia merasa cukup masuk akal.

Alis Ben terangkat. "Atas dasar apa lo berpikir begitu?"

Dewi menggeleng, ia tidak menemukan jawaban atas keresahannya. Hanya desahan kasar yang terdengar jelas sebelum ia menyambar kembali gelas es kopinya lalu meminumnya hingga tinggal setengah.

"You weirdo," Ben menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, lalu menunjuk tangan kiri Dewi dengan pandangan. "Dia sudah kasih lo cincin, dia juga sudah datang ke rumah lo nemuin keluarga lo untuk minta izin nikah, kurang apa lagi?"

"Dan dia bilang akan bawa keluarganya ke rumah gue minggu depan," kata Dewi menambahkan.

"Nah, bahkan dia sudah mau bawa keluarganya ke rumah lo," Ben menatap Dewi yang tampak gusar di depannya. "Jadi, kurang apa lagi?" Ben harus mengulangi pertanyaannya karena Dewi tidak kunjung menjawab pertanyaannya itu.

Ben benar. Satria melakukan semuanya dengan cepat dan tanpa basa-basi. Bahkan pertemuan mereka baru dua hari yang lalu, tapi laki-laki itu sudah melakukan banyak hal tak terduga untuk membuktikan keseriusannya. Benar. Kurang apa lagi?

"Ben, lihat Satria yang melakukan banyak hal dalam waktu dua hari itu ... aneh," ucap Dewi dengan nada melamun.

"Lo yang nyari laki tanpa mau PDKT dulu juga nggak kalah aneh," desis Ben mencibir. "Dikasih yang sat set sat set malah ngeluh. Mau lo apa, Maemunah?"

Dewi berdecak, tapi ia tidak membantah ucapan Ben karena apa yang dikatakan laki-laki itu benar adanya. "Bukan begitu, I just ...," Dewi kehilangan kata-katanya, ia berusaha mencari kalimat yang tepat namun tidak kunjung menemukannya. Ben yang menunggu kelanjutan ucapan Dewi bahkan sudah memutar bola matanya malas.

Illusion PlaygroundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang