"Satria?" langkah Dewi semakin mendekat dengan mata yang membola. "Satria Natha Moerdoko?" tanyanya lagi setengah tak percaya.
Laki-laki itu tersenyum tipis kepada Dewi. Bukannya menjawab, ia malah mempersilakan Dewi untuk duduk dengan isyarat tangannya.
Gila, Dewi sama sekali tidak menyangka kalau Ben akan mempertemukannya dengan sosok paling diminati saat mereka SMP. Satria yang berada di depannya ini tidak banyak berubah. Wajahnya masih tampan dengan mata sipit dan hidungnya yang mancung, bahkan kulitnya juga masih cerah seperti dulu. Saat Dewi meneliti lagi, hanya ada dua yang berubah, gaya rambutnya kini dibuat rapi dengan bantuan gel serta kacamata―sepertinya kacamata minus―yang bertengger di atas hidungnya. Menambah kesan dewasa untuk wajahnya yang cenderung awet muda.
"It turns out that you are the Satria that Ben meant," Dewi sudah duduk di kursi di depan Satria sembari berusaha menetralkan perasaan terkejutnya. Berusaha mati-matian untuk tidak menganga, karena ia yakin ekspresinya saat melihat Satria sudah sangat jauh dari kata anggun. Jadi, ia tidak ingin semakin memperburuk kesan pertama Satria saat melihatnya lagi setelah sekian lama. "Pantas saja Ben betulan nggak mau spill apapun tentang kamu selain informasi tentang kita pernah satu SMP dan kamu sekarang kerja di perusahaan pengembang properti," lanjutnya dengan anggukan samar. Kini Dewi mengerti kenapa Ben merahasiakan tentang Satria sebelum mereka bertemu. Ini sungguh kejutan tak terduga dan membuatnya hampir mencubit pipinya sendiri karena mengira sedang bermimpi.
"Architect, exactly," ralat Satria. "Padahal Ben cerita banyak hal tentang kamu ke aku," Satria berbicara dengan nada santai. Ia tampak sopan, masih sama seperti dulu.
"Nggak adil," gerutu Dewi dengan wajah sedikit tertunduk.
Satria tersenyum tipis. "So, how are you?"
"Good, as you can see," Dewi mengangkat bahunya ringan. "How about you?"
"Just ... so so," Satria memiringkan kepalanya sambil terkekeh samar. "Jadi, kamu masih sahabatan sama Ben? Awet banget, ya," ada nada penasaran di dalam ucapannya.
Dewi mendongak dan menatap Satria, agak heran juga karena ternyata Satria ingin tahu tentang persahabatannya bersama Ben. Tapi tidak salah juga. Sebelum membicarakan hal-hal yang lebih penting. Status persahabatannya dengan Ben sepertinya memang perlu diperjelas. Karena tidak jarang persahabatan mereka disalah artikan oleh banyak orang. Mereka bilang Dewi dan Ben cocok, memicu tawa keras dari keduanya. Itu sama sekali tidak mungkin, karena baik Dewi ataupun Ben sudah menganggap persahabatan mereka layaknya sebuah keluarga meski tanpa ikatan darah.
"Masih, walaupun pernah jarang ketemu juga saat aku pindah ke Surabaya beberapa tahun lalu sebelum akhirnya balik lagi ke Jakarta. Tapi komunikasi kami masih cukup lancar kok," tutur Dewi menjelaskan.
Satria mengangguk mengerti, tidak ada lagi pertanyaan yang terlontar. Ia diam dengan matanya yang belum juga lepas menatap Dewi. Meneliti dengan seksama yang membuat Dewi sedikit salah tingkah.
Penampilan Dewi hari ini tidak terlalu istimewa. Rambut panjang berwarna cokelat gelap yang ujungnya dipotong oval dan ber-layer itu dibuat bergelombang besar di bagian tengah hingga ujung. Ia juga hanya mengenakan blus biru muda dengan celana jin potongan lurus, sangat sederhana. Dan, oh, jangan lupakan riasan wajah superminimalis Dewi hari ini. Kalau saja Dewi tahu bahwa ia akan bertemu kembali dengan Satria Natha Moerdoko. Ia pasti akan berdandan lebih baik. Tapi, sudahlah, Dewi akan menerima dengan lapang dada kalau Satria tiba-tiba membatalkan niatnya perkara penampilan Dewi hari ini.
Ngomong-ngomong, bisa nggak, sih, liatnya nggak usah kayak gitu. Bikin salting aja! Dewi berdeham pelan, "Jadi, kamu sudah dikasih tahu Ben kan soal apa yang membuat kita ada di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Illusion Playground
RomanceAwalnya, Dewi Kirana tidak pernah menyangka bahwa ia akan bertemu lagi dengan Satria Natha Moerdoko setelah sekian lama. Di situasi yang tidak terduga, Satria menawarkan apa yang sedang Dewi butuhkan--dan Dewi terlalu waras untuk menolak itu semua. ...