11. Berkemah

8 0 0
                                    

Justianus mendengus sebal melihat Sir Jonathan yang terhanyut dalam teh hangat miliknya. Sebentar lagi mereka akan berangkat bersama rombongan prajurit yang di kirim menuju wilayah barat. Anderson-- ayahnya tidak bisa menunda ini lebih lama lagi, dan juga Panglima harus segera ditemukan baik dalam kondisi hidup maupun mati. Dan Justianus berharap Panglima Samuel masih menghembuskan nafas hangatnya hingga sekarang.

Tangan lentik miliknya mengemasi beberapa barang kedalam tas kecil. Pakaian beserta sejenisnya yang memiliki beban berat sudah ia kemasi didalam tas yang cukup besar. Dan Justianus akan menyuruh Sir Jonathan nanti untuk membawanya ke kereta kuda, supaya pria itu tidak terlalu hanyut oleh teh hangat miliknya.

Sebelum Justianus pergi, ia ingin sekali bertemu dengan Anneliese. Sejak ibunya berkata ingin berjumpa dengan gadis itu secara dekat, Justianus harus memastikan dirinya menemuinya terlebih dahulu untuk membuat janji. Setelah ini, ia akan pergi jauh dan mungkin saja Justianus lupa oleh keinginan ibunya.

"Bisakah kau membantuku Sir Jo?" tanya Justianus yang masih memasukan barangnya ke dalam tas kecil.

"Tentu yang mulia. Keinginanmu adalah perintah bagiku." Sir Jonathan segera bangkit dari duduknya lalu menunduk hormat kehadapan Justianus menunggu perintah yang diberikan.

"Sebelum pergi ke wilayah barat, aku ingin menemui Lady  Anneliese. Kabarkan pada rombongan prajurit untuk menunggu sebentar."

Alis Sir Jonathan saling bertaut. "Maafkan saya yang mulia. Namun jika harus menemui Lady Anneliese, akan menyita banyak waktu. Kita harus segera berangkat sebelum matahari tenggelam. Kita tidak bisa menunda keselamatan Panglima, yang mulia harap dimengerti."

Justianus melirik lalu menurunkan bahunya. Ia tersenyum tipis. "Baiklah, jika begitu panggil utusan kemari."

Sir Jonathan mengangguk lalu berjalan menjauh dari Justianus.  Pria tinggi itu sedikit merasa aneh pada tuannya.

Justianus melirik singkat kepada Sir Jonathan yang baru saja keluar dari kamar pribadinya. Pria itu menghela nafas. Panglima Samuel dulunya adalah guru kedua setelah Sir Ethan. Mereka dulu sangat suka menyelinap keluar istana untuk melihat festival di pusat kota. Justianus tersenyum kecil. Dia berharap Panglima masih hidup hingga sekarang.

"Yang mulia, prajurit utusan telah tiba."

"Suruh dia kemari."

Justianus duduk di kursi kerjanya lalu menulis secara cepat dan men-cap amplop berwarna putih gading itu. Ia serahkan secara perlahan kepada utusan.

"Bawalah ini kepada Lady  Anneliese, putri saudagar kaya yang berasal dari Eresthopia. Sampaikan salamku karena tidak bisa memberikan surat ini secara pribadi. Dan katakan juga, jangan terburu-buru membalas surat." jelas Justianus kepada prajurit utusan.

"Baik yang mulia. Keinginanmu adalah perintah bagiku." balas prajurit utusan itu lalu pamit undur diri.

"Sepertinya saya merasakan buih-buih manis sari apel."

"Apa maksudmu Sir Jo?" Justianus bangkit lalu kembali mengepaki beberapa barang yang belum ia masukan kedalam tas.

"Yang mulia tidak perlu berpura-pura. Ini adalah istilah yang saya berikan ketika akan mendapat kabar baik. Dan ini khusus saya julukan kepada yang mulia seorang."

Justianus berbalik lalu menatap sengit Sir Jonathan. "Beri aku alasan mengapa harus aku."

"Karena yang mulia adalah peran utamanya."

Lirikan tajam kembali Justianus lontarkan pada pengawal pribadinya itu. Sir Jonathan memang agak sulit ditebak. Kepribadian yang suka ceplas-ceplos tidak membuatnya mudah di mengerti. Justru karena itulah, Sir Jonathan pandai berbohong dan menyembunyikan sesuatu dan Justianus rasa ini ada hubungannya dengan dirinya.

Never say Goodbye  ( On Going ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang