1. Siluet Senja

21 2 0
                                    

Justianus Vaughn, Putra tunggal dari raja dan ratu kerajaan Maethyra. Memasuki umurnya yang ke 21 tahun membuat pria itu merasakan beban dalam pundaknya bertambah berat. Raja Anderson atau ayahnya itu menuntutnya agar menjadi pewaris yang berkuasa dimasa mendatang.

Menjadi putra tunggal sekaligus pewaris tahta tidak semenyenangkan yang ia kira. Setelah lulus dengan nilai terbaik dari akademi, Justianus dihadapkan dengan penobatan dirinya menjadi putra mahkota. Sekuat apapun ia menolak, permintaannya itu tidak akan terkabul dengan mudah. Justianus sering mengeluh tentang materi atau seni bela diri yang diberikan. Ia selalu berharap jika ia seorang penyair. Berkeliling dunia tanpa memikirkan beban berat dan tanggung jawab orang lain dipundaknya. Andai bisa memilih takdir, Justianus ingin menolak.

Bukan hanya itu saja, Justianus sering mendapat sindiran dari Ratu Elesthia agar cepat menikah. Wanita paruh baya itu sering mengeluh ingin segera memangku seorang cucu. Bahkan Justianus selalu menghindar jika makan malam tiba, dia akan beralasan ada pekerjaan yang harus ia lakukan. Justianus tidak ingin kena sindir lagi. Lagipun umurnya masih terlalu muda untuk menikah dan kedua orang tuanya masih sanggup memimpin tahta. Justianus ingin menikmati hidup selagi bisa.

"Anda ingin menambah teh lagi pangeran?"

"Tidak, aku akan kembung nanti."

Pelayan itu mengangguk sambil menunduk. Dia segera undur diri dan berdiri dibelakang Justianus.

Pria itu menatap hamparan padang bunga yang tersaji didepan matanya. Dari balkon kamarnya ini, ia mampu melihat secara jelas pemandangan yang berada dibawahnya. Justianus tersenyum samar memandangi matahari tenggelam yang tersaji didepannya.

Mata bulat namun tajam itu memincing. Di sudut padang bunga daisy, matanya disilaukan oleh sinar yang membuatnya sedikit menoleh. Matanya bergulir, dia menatap tajam titik kecil berwarna putih dari kejauhan. Justianus berdehem ringan.

"Aku akan menemui yang mulia raja, kalian bisa pergi." perintah pria itu.

"Baik pangeran. Kami akan kembali setelah matahari tenggelam."

Setelah memastikan para pelayannya telah pergi, Justianus segera berlari menuju kamarnya dan mengambil jubah hitam. Ia akan memastikan titik putih itu, sebelum matahari tenggelam sepenuhnya.

Justianus melompat ke arah pohon besar yang terletak di balkon kamarnya lalu turun dengan cepat melalui pilar panjang. Ia berlari selincah ninja, bahkan para pengawal yang berjaga tidak menyadarinya. Justianus melangkah menuju kandang kuda yang terletak di belakang kastilnya. Ia tidak ingin tertangkap sebelum rasa penasaran miliknya terbalaskan. Dan Justianus harus cepat.

Mengikuti insting, Justianus tiba lebih cepat di padang bunga. Ia turun dari kuda dan mengedarkan pandangan mencari siluet yang menyilaukan mata.

"Ku mohon beri aku sedikit waktu Tuhan." bisik Justianus.

Doa Justianus terkabul. Pria itu dapat melihat siluet itu kembali. Lalu ia menghampirinya tanpa membuat suara bising. Disana, Justianus melihat seorang gadis bergaun putih tengah tersenyum sambil memetik bunga.

Pria itu terpaku dengan pemandangan didepannya. Sangat indah, perpaduan yang menakjubkan. Gadis yang tengah tersenyum  dengan siluet matahari senja mampu membuatnya gagal fokus.

"Ehem."

Gadis itu menoleh cepat. Justianus dapat melihat sorot terkejut pada netra cokelat muda itu. Mata Justianus sedikit melirik pada liontin yang dipakai gadis itu. Mengangguk dalam hati, ternyata liontin itu yang membuatnya silau.

"Apa yang sedang Lady lakukan disini?" tanya Justianus tanpa basa basi.

"Apa itu penting bagi saya untuk menjawab pertanyaan anda, tuan?" balas gadis itu yang membuat kening Justianus mengkerut. Gadis itu nampak terganggu.

Mencoba mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan, Justianus berdehem kesal.

"Tidak perlu khawatir Lady,  saya tidak seperti yang anda fikirkan. Saya bertanya apa yang lebih tepatnya anda lakukan di wilayah kekuasaan saya." Justianus menaikan satu alisnya. "Malam hampir tiba, tidak baik bagi seorang Lady  seperti anda berada dekat dengan hutan, bukan?"

Gadis itu bangkit dari duduknya lalu menepuk pelan sisi gaunnya yang sedikit kotor.

"Terimakasih atas perhatian anda tuan. Namun saya baik-baik saja. Maaf karena secara lancang memasuki wilayah anda." gadis itu sedikit menundukan badannya. "Jika begitu, saya pamit undur diri."

Sebelum gadis itu benar-benar beranjak pergi, Justianus segera mencegahnya.

"Tunggu! biarkan saya mengetahui nama Lady." ucap Justianus. Pria itu ingin memastikan apakah gadis ini termasuk warganya atau bukan.

"Saya menolak." balas gadis itu cepat.

Ini memang terlalu mendadak menurutnya. Bibir Justianus berkedut. Ia lalu mengambil sesuatu dari dalam saku jubah yang ia pakai. Pria itu menyodorkan sebuah kartu dengan kertas berkualitas tinggi yang terdapat sulaman emas.

"Saya mengadakan pesta malam ini. Hanya pesta kecil." gadis itu memincingkan matanya sambil menerima undangan itu. "Saya berharap Lady datang. Saya ingin berteman dengan Lady, jadi jangan terlalu dibawa serius."

"Apa jaminannya bagi saya?" 

"Jaminan?" tanya Justianus tidak mengerti.

"Ya tentu saja. Kita baru bertemu sekali dan tuan secara gamblang memberikan saya undangan pesta. Bukankah itu mencurigakan?"

Justianus tersenyum malas. Apakah wajahnya terlihat seperti bandit?

"Apa yang Lady inginkan sebagai jaminan jika saya terbukti melakukan kejahatan?" tawar Justianus. Ini memang salahnya karena mengajak orang asing kedalam pesta debutnya. Namun Justianus tidak peduli, ia hanya sedikit penasaran dengan gadis cantik itu.

"Saya akan memintanya jika anda terbukti salah."

Bibir Justianus melengkung keatas. Secara tidak langsung, gadis ini menerima ajakannya untuk datang ke pesta debutnya.

"Baiklah, saya pamit undur diri."

Gadis itu tidak menjawab maupun mengangguk. Di otaknya tersusun pertanyaan, mengapa dirinya malah menerima ajakan pria asing untuk pergi ke pestanya. Gadis itu mengangkat bahunya tidak peduli lalu menatap kepergian Justianus dari kejauhan. Di tatapnya lagi undangan putih bersulaman emas itu. Gadis itu sedikit penasaran, maka dari itu ia berani menerima undangan pesta ini.


Never say Goodbye  ( On Going ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang