13. Now or Never

11 3 2
                                    

"Jatuh cinta itu rasa yang harus diungkapkan. Ketika rasa takutmu mendominasi, maka cinta itu hanya akan menjadi angin. Yang lewat kemudian menghilang."
.
.
.
••••

Acara yang dipersiapkan sepanjang waktu itu kini telah selesai. Acara yang ditunggu-tunggu, kini sudah menjadi momen yang kenangannya tidak akan hilang. Acara yang meriah tentu dipersiapkan sedemikian rupa oleh para panitia, maka dari itu, mari bersama-sama mengucap terima kasih kepada relawan yang mau ikut memeriahkan acara tersebut.

Empat puluh satu tahun bukanlah waktu yang singkat, hampir tiga puluh ribu peserta sampai saat ini yang sudah menimba ilmu di SMA Wiraguna. Sebuah kebanggan tersendiri ketika mereka mampu memberitahukan kepada semua orang, bahwa mereka bertahan dalam waktu sepanjang itu.

Galendra yang sedari tadi memperhatikan Ibel dari luar lapangan mulai bosan, gadis yang ia tunggu itu sangat-sangat bersemangat menyumbangkan tenaganya untuk membenahii bekas kegiatan di sana.

Tanpa pikir panjang ia berjalan dan menapakkan kakinya di lapangan. Menghampiri Ibel, lalu menariknya keluar dari kerumunan orang-orang di sana.

"Eh, kenapa?" Tanya Ibel kebingungan, ketika Galendra tiba-tiba meraih tangannya dan menariknya ke luar lapang.

"Ayok pulang," ajak Galendra dengan wajah datar.

Ibel mengangguk. Ia juga sudah lelah, energinya sudah terkuras, raga nya membutuhkan kasur yang empuk dan nyaman.

"Ayok, tapi gue pamitan dulu sama yang lainnya, ya?"

Galendra mengangguk, "Yaudah, jangan lama-lama. Udah mendung, tuh, awan."

Belum kakinya melangkah, badannya sudah terhenyak lebih dulu, kakinya melemas, pandangannya kabur, juga kepalanya yang terasa pusing berhasil mengurungkan niat Ibel untuk berpamitan.

engan sigapnya Galendra menopang tubuh Ibel, gadis itu pun terselamatkan dan tidak jadi terjatuh ke lapangan.

"Lo kenapa? Bel, Lo gak kenapa-napa, kan?" Cemasnya, masih menahan tubuh Ibel.

Ibel pun segera bangun yang menegakkan badannya, lalu melepas lengan Galendra yang menopang punggungnya. "Gue gak apa-apa, tapi ... Apa gue gak usah pamit, ya?"

Galendra mengangguk, lalu memapah Ibel menuju kursi panjang di pinggir lapang.

"Biar gue yang pamit, sekalian bawa tas Lo di sana," ucap Galendra dengan senyum tipisnya.

Tanpa berlama-lama ia pun berlari menghampiri beberapa murid yang masih sibuk membereskan lapangan. Ia berpamitan, tak lupa juga menitipkan salam dan pamitnya untuk Bu Nela. Segera ia kembali menghampiri Ibel dengan tas ditangannya.

"Ayok, Lo bisa bawa motor gak?" Tanya Galendra, memastikan bahwa gadis itu bisa mengendarai motor dengan selamat sampai tujuan.

Ibel lantas menghela napasnya.

"Bisa, pusing doang gak bikin gue kecelakaan, Len," jawab Ibel santai.

----

Galendra? Cowok itu tentu saja setia mengikuti setiap gerak-gerik motor Ibel. Ia sudah memutuskan untuk menemani gadis itu sampai rumahnya, ia tidak ingin sesuatu terjadi pada gadis itu. Terlebih lagi kondisinya saat ini begitu lemas. Rasanya tidak rela, jika ia harus mengetahui bahwa Ibel tergores karena jatuh dari motor.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Eureka Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang