𝐕. 𝐒𝐢𝐬𝐚 𝐑𝐚𝐬𝐚

1.4K 76 2
                                    

Biar baca nya ngena bisa sambil dengerin playlist 'Sisa Rasa by Mahalini'. Tenang aja udah aku taro di mulmet kok.

 Tenang aja udah aku taro di mulmet kok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[ 5- SISA RASA ]

Sudah dua minggu Mona bersekolah di SHS. Kini ia berdiri di depan pintu gerbang sekolah untuk menunggu sang supir yang sebentar lagi sampai. Tak lama dari itu sebuah mobil dengan merk ternama itu sampai dan Mona langsung masuk kedalam.

"Pak anterin ke pemakaman." ucap Mona dengan tatapan yang menuju kearah jendela mobil. Menatap hiruk-pikuknya jalanan ibu kota di sore hari.

Tak lama mobil berhenti didepan tempat pemakaman umum yang sepi, hanya ada beberapa orang saja karena memang cuaca yang sedang mendung.

Mona menutup pintu mobil nya pelan, ia menatap sang supir "Pak Drajat pulang aja. Nanti Mona mau pulang sendiri aja." ucap Mona dengan tangan yang memasang kacamata hitam.

"Tapi Non__"

"Udah Pak, Mona mau sendiri." ia berjalan menuju area pemakaman dengan seragam sekolah nya yang masih melekat. Kacamata hitam dan rambutnya yang digerai menambah kesan elegan.

Suasana dingin angin berhembus menusuk sampai ke tulangnya. Awan terlihat mendung sedari pagi, dengan suara gemuruh yang sesekali terdengar seolah menandakan sang jumantara tengah sedih.

Ia berjongkok di samping makam seseorang, tangannya mengelus batu nisan yang tertulis jelas nama seorang gadis. Ia membuang kacamata hitam nya ke sembarang arah. Air matanya mengalir tanpa bisa di cegah.

"Gue kangen lo. Harusnya lo gak gegabah waktu itu, harusnya lo mikir bahwa lo masih punya gue yang akan bantuin lo. Perlahan demi perlahan gue bakal hancurin mereka semua. Gue pastikan kepergian lo bakal membuat mereka hancur setelah satu tahun lebih mereka hidup tanpa rasa bersalah dan tenang-tenang aja."

Mona meremas gundukan tanah tersebut "Lo terlalu egois karena ninggalin gue! Lo gak mikir kalo gue, Mamih, Papih pasti kecewa atas jalan yang lo ambil." ucapnya disela-sela Isak tangisnya.

Rintik air mulai berjatuhan menghujani bumi dengan perlahan namun semakin deras. Hal itu tak membuat tangis Mona berhenti, ia bahkan mengencangkan tangisan nya yang tersamarkan oleh suara hujan.

Bermenit-menit ia menangis dengan diguyur air hujan tanpa ingin beranjak. Wajahnya sudah pucat dengan mata yang sembab. Ia bahkan masih sesenggukan walau sudah berhenti menangis.

Mona terdiam ketika tubuhnya tidak merasakan air hujan yang menyerang tubuhnya, ia mendongak dan ada sebuah payung hitam melindunginya. Ia berdiri dan berbalik badan, tubuhnya seketika terdiam. Di hadapannya berdiri Zean dengan kemeja hitam dan celana bahan panjang. Tatapannya terhadap Mona begitu menenangkan.

Zean menarik Mona dengan satu tangan dan membawa Mona masuk ke dalam dekapannya. Dengan seketika Mona menumpahkan kembali tangis nya, ia bahkan meremat kemeja hitam yang Zean kenakan.

Zean menepuk-nepuk punggung Mona dengan pelan berusaha membagi kehangatan dan ketenangan untuk gadis yang tengah hancur dihadapan nya. Tentu saja, dia tahu makan siapa itu karena ia adalah mantan tunangan Mona.

Mona mendorong tubuh Zean. Ia menatap wajah tampan laki-laki dihadapan nya yang juga tengah menatapnya. Mona menggelengkan kepalanya dengan tatapan sendu.

"Kenapa? Kenapa lo ngelakuin hal ini?!!" teriak Mona membaur dengan suara hujan yang deras.

Zean diam, dia paham kemana arah pembicaraan ini.

"Kenapa Zean? Kenapa bukan dulu? Kenapa harus sekarang, disaat rasa ini sudah mulai pulih. Gimana kalo gue bimbang lagi tentang perasaan ini?! Gue takut Ze, gue takut kalah sama perasaan gue sendiri."

Mona mundur perlahan-lahan lalu berlari menjauh dari Zean dan meninggalkan tempat pemakaman dengan perasaan yang kacau. Rasa ini ternyata masih ada, Mona tak mengelak sisa rasa ini masih tersimpan. Tetapi ia takut, ia tidak ingin rasa ini semakin membesar seperti dulu.

Lantas, ia harus apakan rasa ini? Lepaskan atau Biarkan?

Mona menghela napas jengah ketika ocehan unfaedah dari Yerin terus terucap tanpa henti. Tidak tahukah Yerin jika ia pening mendengarnya.

"Rin, udah ngapa sih! Gue puyeng denger nya nih!"

Yerin menunjukkan senyum konyolnya dan akhirnya memilih mengatupkan mulutnya rapat-rapat, takut kena semprot oleh Mona.

Mona membuang arah pandangan nya ketika mereka berdua berpapasan dengan Zean dan Becca yang berjalan bergandengan tangan. Bukan karena cemburu atau apa, tapi Mona malu karena kejadian kemarin di pemakaman yang ia menangis seperti orang gila.

"Mon, Si ulet keket makin lengket sama Zean njir." ucap Yerin dengan nada jijiknya.

Ia melirik sekilas kearah Yerin lalu memasuki kelas tanpa mau membalas ucapan dari Yerin yang menurutnya tidak penting. Toh ada hal yang lebih penting yang harus Mona selesaikan selain hanya membahas hal itu.

Mona mengangkat ponselnya ke telinga ketika ada seseorang yang menelpon nya. Ia beranjak dari kursinya dan berjalan menuju koridor dekat toilet yang masih sepi.

"Gimana? Udah dapet?"

"Sudah. Nanti malam di tempat biasa saja."

Mona tertawa dengan anggun "Gak perlu gue ragukan lagi lo ya."

"Lu bisa mengandalkan gue."

"Of course, why not?" jawab Mona dengan seringai iblis nya.

Ia mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Ia akhirnya memilih masuk ke toilet dan mencuci tangan nya di wastafel. Menatap dirinya di pantulan cermin, ia menyeringai sinis.

Tanpa di duga, Mona mengambil sebuah lipstik berwarna merah cabai dan menulis dua kata di cermin tersebut.

Bitch Munafik!

Ia lantas membuang lipstik tersebut ke tong sampah dan mencuci tangan nya lagi. Berjalan keluar toilet dengan senyuman anggun terpatri di bibirnya.

"Satu, dua, tig--"

Terlihat dari ujung ekor mata, ada seorang gadis berambut pirang sepunggung dan berkaca mata yang memasuki toilet.

"--ga." Mona semakin menyeringai ketika perkiraan nya benar. Ia berjalan di koridor yang masih sepi dengan senyuman arogan nya.

Sedangkan di toilet, gadis berkacamata yang memiliki rambut pirang itu terdiam melihat sebuah tulisan di cermin yang ditulis dengan lipstik berwarna merah yang kalimatnya terasa begitu menyinggung.

Ia menggeram marah dengan tangan yang meremas kedua sisi rok seragam nya. "Sial. Ada yang main-main sama gue rupanya."

"Siapa lo?" geramnya dengan tatapan yang tertuju ke tulisan di atas cermin itu.

🍄To Be Continued🍄

Hai pren. Gak tau kenapa cerita nya makin kesini makin aneh aja, pas aku baca ulang dalam hati aku ngomong gini "Ihhh kok jadinya begini sih?"

Tapi yaudah lah ya, kapasitas cerita aku juga cuma segini doang. Tapi aku berharap banget buat kalian (beberapa orang) yang lagi baca cerita ini semoga terhibur ya.

Tertulis, Ming 07 Apr 23

The Revenge Of RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang