HAPPY READING🐣
Tiga gadis duduk santai di kantin, menikmati batagor yang masih hangat. Batagor Om Eko memang selalu jadi incaran di SMA Pelita Maju, dengan teksturnya yang renyah dan saus kacangnya yang gurih.
"Habis ini pelajaran PKN. Mudah-mudahan gurunya nggak kayak Pak Mamat, ya," kata Safira sambil menyeruput es teh, berharap nasib kali ini berpihak pada mereka. Depi dan Neri serempak mengangguk setuju, seperti berbagi kekhawatiran yang sama.
Pak Mamat, guru PKN mereka dulu, adalah sosok yang tak terlupakan. Setiap kali jam pelajaran berganti ke PKN, suasana kelas berubah, semua murid diam-diam berdoa agar Pak Mamat tidak muncul di kelas, berharap bisa menikmati jam kosong. Tapi harapan itu selalu pupus.
Pak Mamat tidak pernah absen. Setiap jam pelajaran PKN, ia selalu hadir tepat waktu, siap dengan materi yang lebih mirip dongeng panjang. Cara mengajarnya yang lamban, dengan suara yang monoton, sering membuat mereka terseret ke dalam kantuk.
Apalagi, pelajaran PKN itu berlangsung selama tiga jam penuh. Tiga jam yang terasa seperti seumur hidup, hanya diisi dengan pembahasan tentang politik yang seolah tak pernah selesai.
Buku catatan pun masih kosong, tanpa ada satu pun yang tertulis. Setiap kali pelajaran dimulai, rasanya tidak ada gunanya membuka buku, karena tak ada instruksi untuk mencatat.
Bahkan saat itu, Depi hanya memegang pulpen, belum sempat menulis, dan Pak Mamat sudah marah-marah. Katanya, "Belum disuruh nulis, kok udah pegang pulpen?"
Saat Pak Mamat menyuruh mereka mencatat, Nadia dengan polosnya bertanya halaman berapa. Tanpa diduga, Pak Mamat langsung memukul meja guru dengan keras, membuat semua terdiam.
Rupanya, Pak Mamat sudah menyebutkan halamannya, sekali saja, dengan cepat. Tapi, siapa yang salah di sini? Murid, atau guru yang terlalu keras dalam menanggapi?
"Iya, capek banget gue nahan ngantuk di kelas," ucap Depi, mengiyakan ucapan Safira sebelumnya.
"Tapi sekalinya Pak Jasver yang masuk, kita disuruh nyatat tiga jam penuh!" Prisa tiba-tiba menimpali, membuat mereka semua tertawa kecil.
Tak lama kemudian, Fadhya dan beberapa teman lainnya datang membawa batagor. "Kita gabung sama kalian ya, nggak ada tempat lagi nih," kata Fadhya sambil menaruh batagornya di meja.
Depi, Safira, dan Neri mengangguk. Kantin memang selalu penuh di jam istirahat pertama, susah sekali mencari tempat duduk yang kosong.
Tiba-tiba, suasana jadi sedikit tegang. "Maksud lo apa bicara kayak gitu?" Depi bertanya, suaranya mulai terdengar tak senang.
"Kalau bicara jangan asal ngomong, Pris," tambah Safira.
"Jangan sampai, lah," celetuk Neri, mencoba menenangkan.
Sheila yang duduk di samping Prisa berbisik pelan, "Mampus lo, Pris, diserbu."
Namun, Prisa hanya mengangkat bahu santai. "Ya kan, siapa tahu,"
"Tapi gak apa-apa deh, daripada gue harus nahan ngantuk," kata Mika sambil merenggangkan tangannya.
"Entar dikasih tugas beneran, lo yang ngeluh," jawab Neri sambil menyeringai.
Mika cuma ketawa kecil. "Sekalian olahraga tangan, Ri," balasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNIQUE CLASS
HumorBagaimana jadinya kalau guru sudah lelah dengan murid yang tidak bisa diatur atau nakal? Pastinya guru itu tidak akan mau mengajari murid itu atau bisa saja murid itu akan dikeluarkan jika pelajaran si guru sudah dimulai. Tetapi, bagaimana jika satu...