XIX. | Debriefing

10 1 0
                                    

Baru ketika mereka jauh dari Level 4, Rosen angkat bicara. Mereka segera masuk kembali ke mobil kapsul dan pergi dari tempat itu, kini Rosen duduk di bangku samping supir. Mereka semua lari alih-alih menyelamatkan diri dan baru berhenti untuk bernapas lega ketika Natalia sudah menjalankan mobil dan keluar Sektor 4.

"Ya ampun."

"Minta maaf dulu kek gitu ke anak-anak Angia ini yang ikut kerepotan nyariin kamu," Natalia menempeleng kepala Rosen. Rosen mengaduh.

"O-Oh, iya juga," Lianna menghela napas melihat Rosen gelagapan, ia sudah kembali normal dan tidak luput akibat amarah. "Maaf banget kalian jadi ikut-ikutan!"

Blair yang duduk di sebelah Lianna di kursi belakang berpangku tangan, "Sepertinya sudah terlambat untuk mengkhawatirkan itu, iya 'kan, kepala skuadron?"

Gloria melirik Blair, "Aku tidak menyangka sih akan benar-benar melihat anggota E8 lain."

Lianna dan Natalia saling berpandangan, mereka berdua tertegun, begitu juga Rosen. Mei seperti biasa tidak banyak berkomentar, ia masih memegang senjatanya siaga. Mei tampak kritis memandang mereka semua, terutama anak-anak Angia, dan itu merupakan hal wajar.

Lianna hanya bisa terbengong-bengong menghadapi konklusi dari tamu mereka ini - ternyata keterlibatan mereka bukan sebuah kebetulan.

Natalia mengangkat tangannya, "Sebentar, sebentar. Jadi pas tadi aku cerita soal ikut campur E8 di Angia, itu kalian yang diserang?"

"Pecah telor, Gloria." Blair bertepuk tangan.

"Yah, kita kayaknya emang nggak bakat untuk menyimpan rahasia lama-lama." Gloria mengedikkan bahu. "Kurasa tapi kita tidak bisa membahas ini sekarang, sebaiknya kita segera berpencar untuk jaga-jaga."

Natalia memutar setirnya untuk beralih jalur, yang tadinya ia ingin menuju Sektor 3, ia alihkan ke Sektor 2. "Ide bagus."


🛠


Setelah berpisah jalan dengan anak-anak Angia di pelataran Sektor 2, yang Natalia lakukan adalah berhenti di pom bensin. Lianna memerhatikan ekspresi Natalia yang muram dan masam di saat bersamaan, juga Rosen yang bungkam. Ia dan Mei di bangku belakang saling melirik, rasanya ingin memulai percakapan tapi tidak tahu apa yang sebaiknya dikatakan. Rasanya kalau mereka mulai bergurau sekali pun, es di antara mereka akan susah cair.

Ketika mobil sudah sempurna senyap, Natalia tidak juga membuka pintu. Yang pertama wanita berkacamata itu lakukan adalah menurunkan bingkai kacamatanya dan menjepit tulang hidungnya sambil ia menempelkan kepala ke arah badan setir. Helaan napas panjang yang dituainya mengisi kekosongan suara di mobil.

"Rosen?"

"Apa?"

"Kamu mau kutampar nggak?"

"Nggak."

Tapi Natalia lalu bangkit dan benar-benar menampar Rosen. Lianna dan Mei terperanjat di kursi mereka, walau Lianna sudah bisa menebak bahwa itu yang benar-benar akan terjadi. Rosen kembali mengaduh, membelai-belai pipinya yang mulai memerah dan menengadah melihat Natalia tanpa kacamatanya memicing ke arah Rosen seperti jijik.

"Untung kamu nggak kenapa-kenapa, tolol," Lianna ingin menutup telinga Mei untuk memblok mulut kasar Natalia kalau sudah marah, tapi sepertinya ia sudah telat. "Kenapa sih nggak bilang-bilang dulu?"

Rosen tidak membalas, masih mengaduh. Natalia kembali mendesis dan menyandarkan kepala di badan setir. Lianna yang sekarang kebingungan—padahal dia sudah terbiasa melihat hal ini, masih saja bingung—tidak berkomentar. Ia hanya melihat antara Natalia dan Rosen, lalu Mei menarik lengan jasnya.

Risk TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang