XLIV. | Pembebasan, bagian ketiga

4 1 0
                                    

Hal-hal yang menjadi keputusan cepatnya malam itu saat bertemu kembali dengan Karen selalu terngiang di benak Gloria, hingga saat di mana ia mendapat kesempatan untuk duduk sejenak dan memikirkan segalanya.

"Apa anda tidak kangen dengan Angia, Bu Leiri?"

Pertanyaan itu meluncur setelah Leiria dan Gloria menginterogasi Rook Putih. Mengetahui mereka sudah tidak dapat menarik informasi darinya, mereka membiarkan Rook tetap di ruangan itu hingga waktu tiba untuk menyerahkannya pada pihak berwenang. Rook Putih akan mengakui kesalahannya secara gamblang dan tidak menolak ganjaran yang diberikan atas kejahatannya.

Gloria mencurigai bahwa Rook memang sengaja menjadi 'yang dapat dibuang' dari rencana besar E8, walau ia tidak bisa membuktikannya.

Sekarang, dengan Leiria sepertinya memberikan waktu dan tempat untuk Gloria menenangkan diri setelah mengetahui kebenaran dari interogasi Rook, mereka berdua kembali duduk di ruangan tempat Gloria tidur. Sesekali Gloria bisa melihat Leiria memandang bingkai foto itu lagi sesaat ia memeriksa perkembangan kondisi Gloria.

"Kalau dibilang kangen, mungkin iya," tukas beliau ringan. "Toh separuh hidup di Angia? Dan tiba-tiba kamu menyesuaikan hidup di Kaldera? Saya rasa kamu bisa paham dengan ilustrasi itu."

"Tapi tetap anda tidak mau kembali?"

Di situ, terlihat Leiria Alkaid tertegun.

Gloria paham, Leiria berbeda dengannya. Leiria adalah seorang petarung, seorang yang rela mengorbankan dirinya sendiri demi teman dan tanah airnya - mungkin Gloria bisa mengaitkan Leiria dengan Karen. Apa pun yang terjadi padanya, ia tidak akan peduli, entah nantinya dia dianggap sebagai seorang yang busuk akibat caranya, atau dia tidak mendapat sesuatu sebagai tanda jasanya.

Gloria ingat kalau Instruktur Claudia bilang nama Leiria tidak pernah dikenali padahal beliau paling berjasa di antara peleton mereka saat perang kecil melawan Spriggan. Instruktur Claudia-lah yang diberi penghargaan sebagai 'Penyihir Masyhur' dan segala jasanya kemudian dianggap tinggi oleh Angia. Nama itu juga menjadi nama yang terkesan tabu diucapkan di Spriggan.

Ya, Leiria berbeda dengan Gloria yang kerap kali mengikuti arus.

"Kalau dibilang kembali sih ... mungkin ada keinginan, tapi ..." Leiria menggelengkan kepalanya. "Apa saya pantas kembali?"

"Kenapa anda bilang begitu?"

"Mungkin, mungkin apa yang saya lakukan bukanlah sebuah 'kesalahan', tapi saya sudah dianggap mati oleh Angia, dan posisi saya juga tidak terlalu penting," tukasnya sambil mengangkat bahu. "Atau saya takut kembali? Bisa juga."

"... Takut?" Gloria mengulang, ia menatap Leiria—ketua yang sudah mengorbankan dirinya secara heroik—takut untuk kembali ke tanah yang sudah dijaganya baik-baik?

"Takut akan banyak hal," ia menghela napas, menatap langit-langit cruiser itu. "Takut apa yang sudah terlewatkan. Takut aku tidak lagi punya tempat. Takut aku terlupakan—ah, tapi sepertinya Claud tidak pernah lupa padaku, ya? Yuri juga."

Gloria menatap bingkai foto di atas meja, gambaran tiga jiwa muda yang hendak mengorbankan segalanya di medan perang yang ada di depan mata. Mereka turut dalam perang itu atas kemauan mereka sendiri, bukan terpaksa karena arus yang begitu deras. Gloria pun tidak mengetahui adanya pertempuran antara Angia dan Spriggan bila pihak Perusahaan Wiseman tidak memberitahukannya dan ia menyadari perubahan gelagat Karen. Sementara, Perang Sipil Angia adalah kondisi yang tidak terelakkan.

Mereka—Leiria dan teman-temannya, lalu Gloria melihat dirinya dan Karen - dan anak-anak Kelas Sembilan lainnya—adalah dua kelompok yang tidak bisa disetarakan, akan tetapi Gloria menangkap beberapa kesamaan.

Risk TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang